Luweng Grubug, Ziarah dan Situs Memori

Setelah berkunjung ke gedung Jefferson yang terletak di pusat kota Yogyakarta, siang tadi saya melakukan perjalanan yang cukup jauh, dari pusat kota menuju ke sebuah daerah di Wonosari, yang masuk dalam wilayah kabupaten Gunung Kidul. Tulisan yang saya buat ini, serta satu tulisan sebelumnya mungkin tak lebih dari sebuah catatan perjalanan saja.
Saya mengetahui cerita mengenai Luweng Grubug yang menjadi tempat pembantaian massal dari sebuah webinar mengenai warisan ingatan soal tragedi 65 yang diadakan pada bulan Februari kemarin. Selain gedung Jefferson, tempat lain yang menjadi saksi bisu dari horror 65 adalah tempat ini, Luweng Grubug. Setelah mengikuti webinar soal Tragedi 65 tersebut, saya kemudian mencoba mencari lokasi Luweng Grubug atau Gua Grubug di google maps. Pencarian saya di google maps berujung ke dua lokasi, di Kulon Progo, dan satu lagi di Gunung Kidul. Lokasi kedua cukup mendekati akurat, namun lokasi yang ditunjukkan adalah lokasi Gua Jomblang, sebuah obyek wisata caving.

Saya kemudian mengetahui lokasi Luweng Grubug dari sebuah situs internet yang berisi kerja-kerja kebudayaan yang diinisiasi oleh dua orang seniman Yogyakarta, Rangga Purbaya dan Sirin Farid Stevy. Akhirnya setelah cukup lama berencana untuk mengunjungi Luweng Grubug, yang menjadi kuburan massal bagi korban tragedi 65, hari ini saya telah mewujudkan rencana saya. Dengan mengendarai sepeda motor, saya dari pusat kota Yogyakarta saya menempuh perjalanan kurang lebih satu setengah jam untuk mencapai lokasi yang saya tuju. Jalan menuju Luweng Grubug relatif cukup mudah untuk dicapai, baik dengan motor ataupun mobil, hanya ketika sudah dekat dengan lokasi gua, akses jalan berupa tanah dan bebatuan, belum diaspal. Ternyata lokasi Luweng Grubug sangat berdekatan dengan lokasi Gua Jomblang. Untuk bisa sampai ke Luweng Grubug, cukup ikuti saja penanda jalan menuju Gua Jomblang.


Yang kemudian hadir dalam pikiran saya ketika mengamati penanda-penanda jalan ini adalah mengapa arah menuju Goa Grubug tidak dicantumkan disitu, bahkan tidak ada di google maps. Entahlah mungkin saya terlalu spekulatif, mungkin saja karena Goa Grubug bukanlah sebuah objek wisata. Namun izinkanlah saya berspekulasi. Bisa saja, absennya lokasi Luweng Grubug di penanda jalan tersebut (dan juga tidak terdaftar di google maps) berarti juga absennya sebuah penanda bahwa pernah terjadi sebuah pembantaian massal di lokasi tersebut.
Menurut saya, Luweng Grubug adalah ‘lieux de mémoire’, tidak seperti Gua Kalisuci atau Gua Jomblang yang adalah sebuah situs geografi, Luweng Grubug adalah situs memori. Seperti yang dikatakan oleh Pierre Nora, seorang sejarawan Perancis, situs memori memiliki fungsi untuk menstimulasi suatu bentuk tindakan mengingat. Ketika orang-orang yang memiliki ingatan langsung mengenai tragedi 65 telah banyak yang meninggal, situs memori berfungsi untuk menjaga ingatan tentang tragedi 65 tetap hidup. Luweng Grubug adalah makam, tempat berziarah kepada mereka yang telah meninggal di tempat itu. Luweng Grubug menjadi pengingat akan sebuah kejadian kelam dalam sejarah Indonesia bahwa kekejaman telah terjadi akibat adanya ketegangan politik. Makna penting dari ingatan yang kelam adalah agar ia tak terjadi lagi di masa depan. Namun, agar ia tidak terjadi lagi, yang perlu dilakukan adalah mengakui bahwa hal itu pernah terjadi.


Setelah tiba di lokasi parkir Gua Jomblang, saya kemudian bertanya kepada pengelola tempat wisata mengenai arah menuju ke Gua Grubug. Ia menunjukkan jalan setapak menuju ke Gua Grubug atau Luweng Grubug, yang katanya berada di sekitar ladang warga. “Nanti masnya ikuti saja jalan setapak kecil ini, turun sekitar seratus meter, kalau sudah dekat dengan Gua Grubug nanti akan terdengar suara gemuruh air”. Akses menuju lokasi gua hanya bisa dicapai deengan jalan kaki, tidak terlalu jauh sebenarnya, namun jalan menuju Luweng Grubug cukup membingungkan karena harus cermat mengikuti jalan setapak berupa tanah. Kemudian, benar saja, ketika saya sudah dekat dengan lokasi gua, terdengar suara gemuruh air dari dasar gua. Saya berjalan menuju bibir jurang gua vertikal itu dan mencoba menengok ke bawah. Sangat gelap, dasar gua itu tidak terlihat. Mungkin karena memang dalam, ditambah dengan lokasi gua yang berada di tengah-tengah hutan jati. Sejenak, saya berdoa bagi mereka yang meninggal di tempat ini, kemudian mengambil beberapa foto.
Kemudian, saya berpikir, lokasi ini memang sangat cocok dijadikan sebagai tempat pembunuhan massal. Sangat strategis. Lokasinya di tengah hutan yang jauh dari pemukiman penduduk dan mayat-mayat korban tinggal dimasukkan saja ke gua, tanpa perlu repot menggali kuburan massal.
Ketika saya kembali ke lokasi parkir motor, pengelola tempat wisata itu tampaknya sudah pulang. Hanya tinggal ada motor saya sendiri di tempat parkir. Saya pun tidak sempat bertanya apapun kepada pengelola lokasi itu. Setelah beristirahat sebentar dan menghabiskan satu batang rokok, saya memutuskan untuk menempuh perjalanan pulang karena langit nampaknya sudah mulai mendung, malas sekali kalau harus kehujanan.


