Gedung Jefferson, Saksi Bisu Sebuah Horror
Siang itu, saya mengunjungi Gedung Jefferson, sebuah bangunan tua yang terletak di sebelah barat tugu Yogyakarta, di seberang pasar Kranggan. Sesampainya di lokasi tersebut, saya kemudian mencari tempat untuk memarkirkan motor, lalu melangkahkan kaki ke area gedung itu. Kebetulan, di depan gedung Jefferson terdapat sebuah warung makan sederhana. Saya mampir untuk minum es teh, Pelepas dahaga di siang yang terik. Sembari menikmati segelas es teh dan sebatang rokok, saya membuka obrolan dengan sang pemilik warung. “Wah saniki menawi siang panas banget nggih buk (wah sekarang kalau siang panas sekali ya bu)”, “ha nggih mas, nek awan ngeten panas, mangkih nek dalu terus udan deres, repot banget mas gek angine banter (iya mas, kalau siang panas, nanti kalau sudah malam terus hujan deras, repot sekali kalau anginnya kencang)” “oh niki bukak ngantos dalu to buk? (oh ini warungnya buka sampai malam bu?)”, “nggih mboten, tapi kan kula tilem ten mriki. Kesel mas nek bongkar pasang wong wes tuwo (tidak, tapi saya tidur disini. Capek mas kalau bongkar pasang warung, saya kan sudah tua)” timpalnya sembari tersenyum, “ohhh”. Hening sejenak, kemudian ibu itu mengambil sebuah gelas dan mencucinya. Setelah mencuci gelas, ibu itu membuka obrolan kembali, berbasa-basi menanyakan dari mana asal tempat tinggal saya. Obrolan dengan ibu pemilik warung berlanjut karena ternyata ibu itu mengenal seseorang yang juga tinggal di daerah tempat tinggal saya. Kemudian saya bertanya tentang apakah orang tersebut adalah teman ibu. Ia kemudian menjawab: “mboten mas, riyin lak niku polisi, tugas ten mriki (bukan mas, dia dulu polisi, tugas di sini)” ucap ibu itu sembari menunjuk kea rah belakangnya “mriki pundi buk? (di sini, sebelah mana bu?)” “nggih gedung mburi niki mas (ya di gedung belakang ini mas)” ternyata yang ia maksud adalah Gedung Jefferson. Ibu itu kemudian mengatakan bahwa ia sudah berjualan di situ semenjak tahun 1978.
Saya kemudian mencoba bertanya soal keberadaan gedung itu kepada ibu pemilik warung, apa fungsi gedung itu sekarang dan mengenai fungsinya di masa lalu. Ibu itu hanya menjawab bahwa gedung itu digunakan oleh polisi. Ketika saya bertanya lebih jauh mengenai keberadaan gedung itu di masa lalu, ibu itu sejenak terdiam, tampak raut wajahnya menunjukkan ekspresi tidak nyaman, lantas mengalihkan pandangannya melihat acara televisi yang sedari tadi menyala namun tidak ia hiraukan. Kami terjebak dalam diam yang tidak mengenakkan. Setelah terdiam beberapa saat saya bertanya pada ibu itu “menawi kula ajeng niliki mriku angsal mboten nggih buk? (kalau saya mau menengok ke situ boleh tidak ya buk?)” tanpa mengalihkan pandangannya dari televisi, ibu itu menjawab dengan datar “nggih angsal mas (ya boleh saja mas)”.
Saya meninggalkan segelas es teh yang belum habis di warung kecil itu, dan memberitahu ibu pemilik warung bahwa saya akan kembali untuk menghabiskan es teh itu setelah berjalan-jalan di sekitar gedung Jefferson. Gedung itu masih nampak menjulang kokoh, meski di beberapa bagian sudah tumbuh lumut serta tanaman liar dan sebagian besar temboknya sudah tampak kusam dan berjamur. Saya mengetahui keberadaan gedung ini dari kesaksian beberapa mantan tahanan politik korban tragedi 65 yang bedomisili di Yogyakarta. Gedung Jefferson disebut sebagai tempat penahanan sementara bagi para tapol di Yogyakarta. Di gedung itu, para tapol diperiksa, diinterogasi dan disiksa.
Siang itu, saya mengambil beberapa foto di gedung Jefferson. Ketika memasuki bagian belakang bangunan itu, saya merinding, bangunan ini menyimpan horror penyiksaan tapol 65.
Kemudian saya berpikir soal ibu pemilik warung tadi. Dalam diam, ia mengatakan segalanya, mungkin ia adalah saksi hidup bagaimana para tahanan politik diangkut ke dalam gedung itu. Menjadi saksi hidup kekejaman adalah sesuatu yang unbearable, tak tertahankan, apalagi untuk menceritakan kembali horror yang terjadi di gedung itu. Ketika menghadapi horror yang tak tertahankan, mungkin respon paling rasional untuk kondisi tersebut adalah dengan tetap diam. Namun, diam juga dapat dibaca sebagai sebuah sikap penyangkalan dan ignorrance, ketidakpedulian. Seperti yang terjadi pada orang-orang Jerman yang tinggal di dekat kamp-kamp konsentrasi Nazi pasca perang. “Wir haben es nicht gewußt”, kami tidak mengetahuinya, adalah bentuk ketidakpedulian orang-orang itu terhadap horror yang terjadi di kamp-kamp konsentrasi Nazi, dimana sekitar 6 juta orang Yahudi menjadi korban kekejaman fasisme.
Ketika membicarakan soal trauma, mungkin ibu pemilik warung di depan gedung Jefferson bisa saja mengalami kejadian traumatis berkaitan dengan horror 65. Saya kemudian teringat dengan pembicaraan soal pembantaian massal yang terjadi di Bali. Pasca pembantaian 65, beberapa orang secara klinis disebut mengalami ‘gangguan mental’, namun secara kultural, orang Bali menyebutnya dengan istilah ‘ngeb’. Ngeb terjadi karena seseorang menyaksikan suatu kejadian yang mengerikan. Pembantaian massal kelompok sayap kiri tentu adalah suatu kejadian mengerikan yang traumatis bagi orang yang menyaksikan. Ngeb membuat seseorang terjebak dalam kebisuan dan mengurangi interaksi sosial dengan orang lain. Dalam kultur Jawa, saya tidak tahu bagaimana orang memaknai kebisuan yang traumatis.
Setelah cukup mengambil beberapa foto, memutari gedung, dan mencoba masuk ke dalam gedung namun tidak bisa karena semua akses masuk ke dalam dikunci, saya kembali ke warung ibu itu untuk untuk memenuhi janji saya menghabiskan segelas teh yang esnya telah mencair. Ketika saya datang, pandangan ibu itu masih saja terpaku pada layar televisi. Saya enggan mengajaknya bicara, karena masih merasa canggung dengan suasana yang tercipta setelah saya membicarakan gedung Jefferson. Setelah menghabiskan teh, obrolan saya sebelum meninggalkan warung itu hanyalah: “sampun bu, es teh setunggal pinten nggih? (sudah bu, es teh satu berapa ya?)”, “telung ewu mas (tiga ribu mas)”. Saya membayar es teh tersebut dengan uang pas, lalu meninggalkan warung dan mengendarai motor ke arah Wonosari, Gunung Kidul.