Revoloesi?

Michael Pandu Patria
5 min readMay 1, 2021
Bapak tukang becak dan pengingat semangat revolusioner (dok. pribadi)

Thus the revolution never became more than a “national revolution”; it ended in 1949. . . . Long after Indonesian sovereignty was recognized by the world, the search for 100 per cent merdeka [liberty] was to continue and was to remain sentenced to disappointment. But the hopes are still with us.

— B. R. O’G. Anderson, 1972

Suatu sore yang cerah, pada bulan puasa 2021 di tengah pandemi yang tak kunjung berakhir, saya dan tiga orang teman berjalan menyusuri gang-gang sempit perkampungan kota Solo. Lalu, saya bertemu dengan bapak ini, seorang tukang becak yang becaknya berstiker “REVOLUTION” dengan gambar lingkaran dan bintang di tengahnya sebagai pengganti huruf “O”. Dalam kata “revolution” terdapat dua huruf “o”, namun huruf “o” yang diganti dengan gambar lingkaran dan bintang di tengahnya hanya huruf “o” pertama. Gambaran simbolik dalam stiker itu seakan ingin mengatakan bahwa kata “revolution” berkaitan erat dengan kata “revolt”, bahwa revolusi sejatinya adalah tindakan memberontak yang penuh dengan kenekatan.

Pengetahuan saya mengenai wacana politik dan sejarah memanglah sangat dangkal juga tidak luas, namun saya mengenal beberapa momen historis yang diwarnai dengan “revolusi”. Revolusi Perancis, yang terkenal sangat radikal itu, kemudian Revolusi Bolshevik di Rusia yang melahirkan negara sosialis pertama di muka bumi. Lalu Revolusi Kemerdekaan Indonesia, yang setiap tahun kita (per)ingat(i) pada tanggal 17 Agustus.

Revolusi Perancis berhasil menggulingkan kekuasaan monarki dan membawa perubahan radikal pada kondisi sosio-politik masyarakat Perancis serta membawa angin perubahan pada negara-negara Eropa lainnya. Jargon yang terkenal dari Revolusi ini adalah “Liberté, égalité, fraternité, ou la mort !”, kebebasan, keadilan, persaudaraan atau mati ! Jargon ini di kemudian hari menjadi motto nasional dari negara Perancis namun tanpa “ou la mort”. [Besarnya pengaruh Revolusi Perancis juga tampak dari jargon ini yang kemudian bergaung pada perang kemerdekaan Indonesia, “merdeka atau mati !”] Kemudian, Revolusi Bolshevik mengakibatkan sebuah perubahan radikal untuk mengganti pemerintahan provisional, yang sebelumnya telah berhasil menggulingkan kekuasaan monarki Rusia yang dipimpin oleh seorang Tsar, dengan didirikannya republik sosialis pertama di muka bumi. Lalu, Revolusi Kemerdekaan Indonesia berhasil menggulingkan (ke)kuasa(an) kolonial Belanda dan mendeklarasikan berdirinya Republik Indonesia (yang merdeka dan berdaulat).

Menurut saya, yang menarik dari Revolusi Kemerdekaan Indonesia adalah bahwa ini merupakan sebuah gerakan kerakyatan untuk menentukan masa depan mereka sendiri. Ben Anderson, dalam Java in a Time of Revolution : Occupation and Resistance 1944–1946 (1972) [yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa (1944–1946)] menuliskan: “In Indonesia,…Revolutionary forces were in the ascendant. It was as if for one brief moment the societies of Southeast Asia could begin to shape their own futures without dictation from the outside.”

Kemudian, hal lain yang menarik dari revolusi ini adalah peran sentral dari para aktor pelaku sejarah, bukan secara personal melainkan secara kolektif, mereka yang disebut sebagai “pemuda”. “…The central role in the outbreak of the revolution was taken, not by an alienated intelligentsia, nor in the main by oppressed classes, but by the young, or, as Indonesians refer to them, the pemuda”. Secara psikologis, mengacu pada konsep “barat”, gagasan tentang “pemuda” dari perspektif perkembangan mungkin akan sedikit sulit untuk dijelaskan, maka, konsep pemuda ini oleh Ben dijelaskan dari perspektif sosio-kultural masyarakat Jawa. “in one sense youth was defined by traditional society as a distinct stage in the linear trajectory of the life-arc between childhood and maturity. But in another sense the meaning of youth transcended the life-arc, and by its autonomous cultural style defined traditional society by systematic oppositions.”

Dalam kata penutup untuk bunga rampai Kosmopolitanisme Si/Apa: Benedict Anderson, Indonesia & Revolusi Pemuda (Windarto, Harimurti, Prabangkara & Ayu R. (eds.), 2018), disebutkan bahwa dari perspektif sosio kultural yang disebutkan oleh Ben Anderson, konsep pemuda menjelaskan situasi liminal (ambang). Pemuda dalam komunitas liminal dapat merdeka dari ikatan dan batas-batas (ke)keluarga(an), suatu komunitas dengan bentuk khas pesantren dalam situasi imajinatif “zaman edan”. Dalam situasi yang dibayangkan sebagai “zaman edan”, berkaitan dengan situasi liminal, pemuda (pada masa revolusi kemerdekaan) lantas disebut (-sebut) sebagai satria lelana, ksatriya pengembara dengan altruisme dan independensi sebagai nilai-nilai yang mereka pegang teguh. Revolusi yang dimotori oleh para pemuda ini bukan hanya soal menggulingkan kolonialisme Belanda. Revolusi ini berwujud aksi revolusioner, atau pembangkangan, pemberontakan yang diwarnai gagasan serta imajinasi yang radikal bahkan anarkis. Dengan bahasa bersama yang mendamba kehadiran imajinatif tentang “ratu adil” atau sang juru selamat pada lingkup ruang dan waktu yang dianggap sebagai “zaman edan”, masa yang penuh dengan kekacauan.

Brian May dalam The Indonesian Tragedy (1978) menuliskan: “Indonesia was born after a kidnapping; it was to be reborn in a putsch and baptized with the blood of a massacre” Revolusi kemerdekaan Indonesia (di)mungkin(kan) untuk terjadi karena dua (orang yang disebut sebagai) proklamator bangsa ini diculik oleh sekelompok pemuda (dan dipaksa) agar segera memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia. Tanpa kehadiran para pemuda yang nekat dan “anarkis”, mungkin (semangat) kemerdekaan Indonesia tidak diingat dalam momen 17 Agustus 1945. Peran pemuda revolusioner dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia begitu sentral, hingga Soekarno, sang Pemimpin Besar Revolusi, dalam ucapannya yang begitu terkenal mengatakan: “Beri aku seribu orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya, beri aku sepuluh pemuda, niscaya kuguncangkan dunia”.

Peran sentral pemuda tidak hanya hadir dalam kelahiran Indonesia yang terjadi setelah penculikan, ia juga berperan pada pembaptisan Indonesia dengan darah pembantaian. Ironisnya, dalam pembaptisan Indonesia dengan darah pembantaian, “anarkisme” pemuda dimanfaatkan pihak militer untuk mendorong terjadinya pertumpahan darah di mana seorang Indonesia membunuh sesamanya. Dengan peristiwa pembantaian ini, kemudian rezim Orde Baru lantas dikukuhkan dan cita-cita kemerdekaan bangsa ini dikecewakan. Kemerdekaan bangsa yang digerakkan oleh “kuasa hasrat” para pemuda, lantas digantikan oleh “hasrat kuasa” Soeharto. Mungkin hingga kini, “kuasa hasrat” tetap tergantikan oleh “hasrat kuasa”.

Dalam cengkeraman militerisme Orde Baru gagasan kerakyatan yang dibangun dalam semangat revolusi (pemuda, dan semangat anarkis) sirna sudah. Di bawah kekuasaan Soeharto, (ke)hidup(an) (ke)rakyat(an) praktis berada di tangan si pemegang kuasa.

Melihat kembali foto bapak tukang becak yang pada becaknya terdapat stiker “REVOLUTION”, wajahnya tampak sayu namun kendaraan yang menjadi alatnya untuk memenuhi kebutuhan hidup menyampaikan satu pesan yang kuat. Mengingatkan bahwa “revolution” tak hanya berkaitan erat dengan “revolt”, namun lebih dekat dengan “pemuda” dalam sebuah frasa “Revolusi Pemuda”. The hopes are still with us.

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

Michael Pandu Patria
Michael Pandu Patria

Written by Michael Pandu Patria

Bagi saya menulis sama dengan mengelola sampah, karena menulis adalah salah satu cara mengelola pikiran, dan pikiran saya isinya sampah.

No responses yet

Write a response