Persoalan Mengingat

Michael Pandu Patria
4 min readApr 24, 2021

--

poster dari nobodycorp.org

Mungkin satu atau dua dekade belakangan, dunia terasa sangat cepat berubah. Dunia banjir informasi. Sangat sulit untuk mencerna begitu banyak informasi dalam waktu yang singkat. Mungkin semacam melakukan apa yang disebut oleh banyak orang sebagai mukbang, suatu kegiatan kuliner ekstrem ketika seseorang makan makanan yang begitu banyak kuantitasnya. Saya tidak bisa membayangkan bahwa suatu hari saya akan melakukan hal itu, mukbang. Namun tampaknya saya dipaksa untuk melakukannya, hanya yang saya cerna bukanlah makanan, tapi informasi. Mukbang informasi.

Saya tidak membayangkan bagaimana seseorang tidak mengalami sesak nafas setelah menyantap makanan yang begitu banyaknya. Mungkin ini juga yang terjadi, banjir informasi membuat orang tidak lagi bisa berfikir atau berefleksi, melihat dengan jernih sebuah peristiwa. Mungkin ini juga karena kapasitas otak saya yang tidak memadai, saya juga kurang tahu pasti. Kealpaan berpikir dan berefleksi, lantas secara sistematis membuat orang lupa, atau melupakan.

Satu hal yang bagi saya ironis adalah, di tengah pesatnya kemajuan peradaban manusia, soal kejahatan terhadap kemanusiaan nampaknya kemajuan itu berjalan dengan sangat lambat, jika bukan tak ada kemajuan. Salah satu persoalan kejahatan terhadap kemanusiaan yang saat ini sedang banyak saya pelajari adalah mengenai Tragedi 65. Memang, persoalan 65 ini adalah suatu kasus yang begitu kompleks, namun bukan berarti tak terselesaikan.

Pada masa kekuasaan Soeharto, wacana mengenai persoalan 65 hanya ada satu versi: bahwa PKI dan kelompok sayap kiri adalah pengkhianat bangsa yang perlu dimusuhi terus menerus. Segala ingatan dan wacana yang dianggap tidak mendukung wacana yang dikonstruksi sebagai wacana resmi oleh penguasa itu kemudian dianggap sebagai sesuatu yang terlarang, subversif. Memori tentang pembantaian massal, serta penahanan secara paksa terhadap ratusan ribu, bahkan jutaan manusia pada masa itu adalah memori yang berbahaya. Diam bukanlah pilihan, diam adalah keniscayaan.

Setelah lebih dari tiga puluh tahun orang-orang dipaksa untuk diam, reformasi tampaknya membawa angin segar bagi pemulihan rasa keadilan bagi para korban dan penyintas. Runtuhnya rezim Soeharto, membuka kesempatan bagi para korban dan penyintas untuk berbicara. Suara mereka mulai memasuki ruang publik sebagai counter-narratives bagi narasi orba yang hegemonik soal tragedi 65. Meski rezimnya telah tumbang, namun reformasi tidak dapat mencabut hegemoni kekuasaan orde baru hingga ke akarnya. Represi dan ketakutan terhadap komunisme dan hal-hal yang berbau “kiri” masih saja dipelihara. Hingga hari ini, para penyintas tragedi 65 masih terus memperjuangkan kembalinya rasa kemanusiaan yang telah direnggut dari mereka. Beberapa, telah gugur, yang lainnya hanya menunggu waktu.

Klaus H. Schreiner dalam Remembering and forgetting at ‘lubang buaya’: the ‘coup’ of 1965 in contemporary Indonesian historical perception and public commemoration menyatakan “…memory is closely linked to the present of man and his or her society, history is exclusively concerned with the past…” ingatan, menjadi sesuatu yang berkaitan erat dengan manusia di masa kini, sedangkan sejarah berfokus pada pembahasan masa lalu. Sampai sini, menurut saya, pembahasan soal apa yang disebut sebagai ‘pelurusan sejarah’ sebenarnya tampak problematis. Mungkin dari perspektif sejarawan, soal wacana ‘pelurusan sejarah’ menjadi penting untuk dibahas. Namun mengacu pada pernyataan Schreiner di atas, yang lebih krusial berkaitan dengan kejadian 65 adalah soal memori atau ingatan.

Berkaitan dengan narasi sejarah yang hegemonik, pihak penguasa pada era orde baru lantas mengkonstruksi ingatan soal “pengkhianatan PKI” dengan adanya hari raya orde baru serta Monumen Pancasila Sakti dan Museum Lubang Buaya (yang juga disebut sebagai Museum Pengkhianatan PKI). Hari raya orba berfungsi untuk memperingati “kesaktian” ideologi Pancasila yang berhasil “mengalahkan” ideologi komunisme, kemudian juga untuk memperingatkan soal bahaya laten komunisme. Namun, “kesaktian” ini kejam karena atas nama Pancasila, kurang lebih lima ratus ribu orang dibantai, dan sayangnya hal ini tidak diingat apalagi diperingati. Lalu, adanya Museum Lubang Buaya berfungsi untuk memperingatkan dan mengingat kekejaman PKI (yang problematis, mengingat “kekejaman PKI” adalah narasi propaganda orde baru untuk menjustifikasi pembunuhan massal dan persekusi terhadap kelompok sayap kiri Indonesia). Dengan konstruksi ingatan yang seperti ini, yang akan ada dalam ingatan orang adalah soal kekejaman PKI, namun pembunuhan massal dan persekusi yang dialami oleh jutaan orang cenderung diabaikan. Ingatan soal pembunuhan massal dan persekusi ini memang kini telah banyak direkam, dalam tulisan, film ataupun karya seni. Tulisan itu bisa diakses oleh mereka yang mau membacanya, film dan karya seni pun bisa diakses juga oleh mereka yang mau mengaksesnya, namun monumen dan museum cenderung lebih mudah diakses oleh publik.

Kehadiran monumen atau museum sebagai pengingat atas pembantaian massal dan persekusi yang harus dihadapi oleh kelompok sayap kiri di Indonesia menurut saya cukup penting, berkaitan dengan apa yang dikatakan oleh Pierre Nora, seorang sejarawan Perancis, soal apa yang disebut dengan ‘lieux de mémoire’ atau yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai ‘sites of memory’. Situs memori hadir untuk menjaga ingatan tetap hidup. Ketika para penyintas tragedi 65 telah gugur, selain ingatan intergenerasional yang telah diwariskan kepada generasi setelahnya, situs memori menjaga ingatan tentang mereka tetap hidup.

Sebagai generasi yang tidak merasakan betapa represifnya rezim otoriter orde baru dan lahir jauh setelah tahun 1965, salah satu hal yang bisa saya lakukan adalah dengan menjaga ingatan. Di tengah derasnya arus informasi yang tak terbendung, menjaga ingatan yang begitu jauh mungkin menjadi sesuatu yang cukup sulit, namun bagi saya mengingat tragedi 65 dan betapa banyak korban yang jatuh pada kejadian itu adalah sebuah cara untuk menghargai para korban dan penyintas, serta cara untuk menghargai kemanusiaan.

Kami akan selalu ingat, dan tidak akan pernah lupa!

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

--

--

Michael Pandu Patria
Michael Pandu Patria

Written by Michael Pandu Patria

Bagi saya menulis sama dengan mengelola sampah, karena menulis adalah salah satu cara mengelola pikiran, dan pikiran saya isinya sampah.

No responses yet

Write a response