Peristiwa 65, Psikologisasi, Kemudian Generasi Ketiga

Michael Pandu Patria
22 min readSep 15, 2024

--

Remnant of Forced Detention (dok. pribadi)

Pada mulanya adalah kebosanan. Dalam beberapa mata kuliah, seolah-olah saya tidak menjumpai antusiasme atau ketertarikan untuk betul-betul belajar. Sebagai seorang prokrastinator yang handal, barangkali kondisi tersebut terjadi karena memang saya adalah pemalas. Toh, dalam perjalanan waktu, ada beberapa mata kuliah yang benar-benar menggoda saya untuk bertanya lebih jauh, misalnya Psikologi Sosial, Metodologi Penelitian Kualitatif, serta Analisis Sosial. Saya anggap beberapa mata kuliah tersebut menarik karena saya selalu penasaran dengan dunia beserta keanehan yang terjadi di sekitar saya. Seolah-olah, saya senantiasa gagal memahami berbagai problem dan isu sosial di sekitar saya.

Melalui kacamata keilmuan Psikologi, isu-isu sosial tersebut dieksplorasi. Sekalipun demikian, saya sering menemui kejanggalan, tidak jarang keilmuan dipakai layaknya kacamata kuda yang justru mempersempit pandangan. Gagasan tersebut semakin menancap dalam kepala, terlebih ketika saya membaca tulisan Fredric Jameson, seorang pemikir post-modern, yang mengutip Emile Durkheim demikian: “Ketika sebuah fenomena sosial semata-mata dijelaskan sebagai sebuah fenomena psikologis, kita tentu dapat mengatakan bahwa penjelasan tersebut salah” (Jameson, 1977 hal. 339). Bagaimana mungkin, sebuah ilmu yang selama ini saya jajaki, ternyata menyimpan kekeliruan dalam memahami dunia? Sebagai contoh, problem yang muncul adalah kecenderungan reduksionistik. Artinya, aspek-aspek psikologis manusia dilihat dari perspektif sempit (berbasis eksperimental-laboratorium) yang berimplikasi pada isolasi manusia dari kehidupan mereka sehari-hari yang selalu berkaitan dengan aspek sosial, historis dan kulturalnya. Teo (2015) menyebutkan bahwa perspektif keilmuan psikologis (yang reduksionis) justru lebih condong pada kontribusinya untuk menimbulkan permasalahan (problem-making) dari pada menyelesaikan suatu masalah (problem-solving). Hal ini misalnya ditemui dalam sebuah kasus ketika orang-orang keturunan separuh Indian menunjukkan hasil tes IQ yang lebih rendah daripada orang kulit putih. Hasil tes tersebut kemudian digunakan sebagai landasan untuk mengatakan bahwa suatu kelompok lebih superior daripada kelompok lainnya yang dimungkinkan karena perspektif reduksionis yang menafikan aspek sosial, historis dan kultural berkaitan dengan suatu kelompok.

Meski berada dalam identitas “mahasiswa Psikologi”, tetapi menurut saya pemahaman soal konteks di luar disiplin keilmuan Psikologi juga penting untuk mengantisipasi penjelasan yang reduksionis. Psikologi bukan ilmu yang mampu untuk menjawab segala pertanyaan yang belum ada jawabannya. Bahkan saya merasa bahwa, sebagai orang yang belajar Psikologi, tugas saya bukan sekadar menjawab, tetapi bertanya lebih jauh. Wanti-wanti yang diserukan oleh Durkheim di atas kemudian saya temui sebagai realitas ketika mengerjakan skripsi sebagai tugas akhir. Di sinilah kemudian minat saya terhadap Psikologi semakin menyala-nyala.

Minat dan antusiasme tersebut tentunya bukan tanpa alasan. Ketika duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA), saya memiliki ketertarikan dengan isu-isu sosial, secara spesifik ketertarikan pada Holocaust. Ketertarikan saya terhadap isu Holocaust berawal dari sebuah film berjudul Freedom Writers (2007) yang saya tonton pada tahun pertama saya di SMA, sekitar 2011. Dalam cerita Freedom Writers, satu bagian yang paling saya ingat adalah ketika film tersebut membahas soal Holocaust dan perjumpaan dengan beberapa penyintas (survivor) Holocaust. Bagian tersebut menggugah rasa penasaran saya lebih jauh untuk mencari tahu soal Holocaust. Pencarian saya mengenai Holocaust kemudian membawa saya pada istilah seperti “Nazi”, “kamp konsentrasi”, “Auschwitz”,“Gulag”, lebih jauh lagi soal “Holocaust di Indonesia” atau yang sering disebut “Gulag Tropis”. Meski pembahasan soal genosida sangat minim dalam perjumpaan di kelas-kelas Psikologi, tetapi pengerjaan tugas akhir menggugah hasrat saya untuk mengeksplorasi (lebih jauh) terkait genosida 1965 di Indonesia (selanjutnya akan ditulis “Peristiwa 65”). Mengapa banyak orang dikorbankan untuk kehidupan sebuah bangsa? Terlebih, yang dikorbankan justru nyawa dari rakyatnya.

Psikologi 1965

Perjumpaan saya dengan pengetahuan soal Peristiwa 65 kemudian membawa saya pada sebuah diskursus mengenai ilmu pengetahuan (knowledge) yang dimanfaatkan oleh pihak yang berkuasa. Dalam sebuah penelusuran Peristiwa 65, nyatanya komunitas Psikologi juga turut bertanggungjawab atas penahanan paksa terhadap ratusan ribu orang Indonesia yang dituduh sebagai “komunis”. Ilmu psikologi bahkan memiliki kontribusi besar dalam konstruksi stigma “komunis” terhadap para tahanan politik. Saya membayangkan dengan pahit: Sebuah ilmu yang tengah saya pelajari ternyata memiliki sejarah yang berdarah-darah. Bagaimana mungkin hal tersebut bisa terjadi? Dalam sebuah penelitian yang dilakukan Kartika (2016), disebutkan bahwa tes-tes psikologi dilangsungkan dalam rangka screening para tahanan politik (tapol). Dengan demikian, berlangsung sebuah politisasi pengetahuan yang menjadikan ilmu pengetahuan sebagai justifikasi terhadap suatu tindakan tertentu yang diambil oleh penguasa.

Kartika (2016) menyebutkan bahwa ilmu pengetahuan digunakan sebagai sebuah alat untuk mengontrol masyarakat dengan mengelompokkannya dalam kategori “normal” dan “abnormal” (the disordered). Pengelompokan tersebut menjustifikasi tindakan penguasa untuk melakukan intervensi terhadap kelompok “abnormal” dan melakukan pengawasan terhadap masyarakat. Dalam konteks ini, manusia tidak bisa tidak diposisikan dalam sebuah wacana politik. Salah satu masalah paling penting dalam wacana politik adalah kuasa (power) (Montero, 2015). Memposisikan manusia dalam sebuah wacana politik adalah sesuatu yang tak terhindarkan karena kehidupan manusia adalah objek dari politik dan dengan begitu menjadi objek dari kekuasaan (power) (Lemke, 2011). Kekuasaan yang pada awalnya berdaulat untuk menentukan hidup dan mati seseorang, kemudian mengalami pergeseran menjadi kuasa untuk mengatur kehidupan manusia. Kekuasaan mereproduksi pengetahuan yang bersifat opresif dan memperpanjang penyingkiran terhadap mereka yang dianggap komunis. Selanjutnya, terjadi pembentukan norma yang berimplikasi untuk mendisiplinkan manusia (Gutting, 2005).

Dalam kaitannya dengan Peristiwa 65, para ilmuwan Psikologi (psychologists) sebagai ahli yang mempelajari perilaku dan pikiran manusia (psyche), memainkan peran penting dalam mengonstruksi tapol sebagai objek normalisasi (untuk dinormalkan). Posisi tapol sebagai objek normalisasi lantas diletakkan di luar batas “kenormalan” karena ideologi komunis yang dianut oleh para tapol dikonstruksi sebagai sesuatu yang berbahaya oleh sejarah resmi Negara. Selain itu, posisi tapol sebagai objek yang harus dinormalkan tampak jelas dari penamaan kamp-kamp tahanan yang awalnya disebut “Tempat Pemanfaatan” (Tefaat) kemudian diubah menjadi ”Instalasi Rehabilitasi” (Inrehab). Perubahan nama kamp tahanan dengan logika Inrehab membawa implikasi bahwa tapol, dengan ideologi komunisnya, dianggap sebagai suatu abnormalitas serta gangguan psikologis sehingga perlu untuk dipulihkan (Wieringa & Katjasungkana, 2019).

Kontribusi dari para ilmuwan psikologi (psychologists) dalam memposisikan para tapol sebagai objek normalisasi adalah dengan menyusun serangkaian tes psikologi yang bertujuan untuk mengklasifikasikan mereka ke dalam kategori-kategori ke-komunis-an (communistness). Pasca Gerakan Tiga Puluh September (G30S), yang secara ”resmi” oleh Negara dijelaskan sebagai sebuah percobaan kudeta dengan menunjuk Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai aktor utamanya, jutaan orang dibunuh dan ditangkapi karena dituduh terlibat dalam usaha kudeta G30S serta terlibat dalam penculikan dan pembunuhan para petinggi militer (Roosa, 2008).

Tes Psikologi dan Penyingkirannya

Wieringa dan Katjasungkana (2019) mengatakan bahwa tidak ada sarana hukum untuk membedakan tingkat keterlibatan mereka dalam G30S. Para petinggi militer lantas memutuskan untuk membuat klasifikasi berdasarkan tingkat ke-komunis-an dari para tapol. Salah satu hal paling penting dalam klasifikasi tahanan politik ini adalah dengan melihat keterlibatan mereka dalam PKI ataupun dalam organisasi-organisasi yang dianggap berafiliasi dengan PKI. Ketika informasi soal keterlibatan mereka dalam organisasi ini dirasa kurang cukup, maka para petinggi militer kemudian melaksanakan tes psikologi terhadap para tapol. Pengembangan tes psikologi, atau dikenal sebagai proyek KUN-2, melibatkan ilmuwan Psikologi dari Indonesia dan Belanda. Salah satu tes awal yang dilaksanakan untuk screening tahanan politik adalah tes Rorschach. Selain itu, sebelum para tapol dibebaskan, dilakukan serangkaian tes psikologi berupa tes inteligensi dasar, dua tes ‘thematic differentiation’ dalam konteks Indonesia, Edward Personality Preferences Schedule (EPPS), dan Eysenck Personality Inventory (EPI) (Kartika, 2016).

EPPS biasanya digunakan untuk melihat bagaimana kepribadian seseorang mendasari suatu perilaku tertentu dalam suatu keadaan tertentu. Kemudian, dalam rangkaian tes psikologi yang dilakukan terhadap para tapol, pihak penguasa menggunakan tes EPPS untuk menentukan tingkat kekukuhan dan keyakinan mereka (pada ideologi komunis) serta menentukan motivasi dan kapasitas mereka untuk memengaruhi orang lain (Kartika, 2016). Tes selanjutnya, yakni EPI, digunakan sebagai tes untuk mengukur tingkat radikalisme ideologi politik para tapol dalam rangka mengukur tingkat ke-komunis-an mereka. Rangkaian tes psikologi yang harus dikerjakan oleh para tapol ini menjadi faktor penting yang memengaruhi kehidupan mereka, tidak hanya ketika berada dalam kamp, tetapi juga memengaruhi kehidupan mereka setelah dibebaskan dari kamp tahanan. Pengukuran tingkat motivasi dan kapasitas tapol untuk memengaruhi orang lain, kemudian menjadi sesuatu yang krusial bagi kehidupan mereka setelah bebas dari kamp. Bahkan, pengukuran tersebut juga menjadi landasan bagi penguasa untuk membuat peraturan yang diskriminatif terhadap para eks-tapol.

Pada 1981, melalui Instruksi Menteri Dalam Negeri №32/1981 Tentang Pembinaan dan Peng-awasan Bekas Tahanan dan Bekas Narapidana G30S/PKI, pemerintah mencantumkan kode ET (Eks Tapol) pada Kartu Tanda Penduduk (KTP). Selanjutya, pada 1997, terbitnya Instruksi Menteri Dalam Negeri №10/1997 Tentang Pembinaan dan Pengawasan Bekas Tahanan dan Bekas Nara¬pi¬da¬na G30S/PKI, diputuskan bahwa kode ET pada KTP tidak perlu lagi dicantumkan. Sekalipun tidak ditam-pilkan, pembatasan bagi para eks-tapol tetap berlangsung, yang mana disebutkan bahwa: “Sifat pekerjaan yang dapat dimanfaatkan untuk memengaruhi orang lain baik langsung maupun tidak langsung bagi pengembangan komunisme seperti pekerjaan sebagai guru/dosen, pendeta, dalang, Lembaga Bantuan Hukum, wartawan, dsb.” (Mudjayin, 2008). Di samping pemanfaatan Ilmu Psikologi dalam rangka membangun jalan menuju persekusi, mengukur tingkat keyakinan pada ideologi komunis adalah perkara yang problematis. Tidak sedikit temuan yang menunjukkan bahwa tidak semua tapol menganut ideologi komunis seperti yang dituduhkan oleh penguasa.

Kita tidak akan pernah bisa mengatakan bahwa pengetesan psikologi dalam rangka mengklasifikasi tahanan politik pasca-65 adalah penyalahgunaan ilmu pengetahuan (khususnya Ilmu Psikologi) jika tidak memposisikan subjek dalam kondisi sosio-historis tertentu. Pemanfaatan Ilmu Psikologi dalam konteks Peristiwa 65 lantas membawa implikasi yang serius terhadap kehidupan para tapol. Kondisi pikiran (state of mind) dari para tapol yang diperiksa melalui serangkaian tes psikologi bisa benar-benar memengaruhi kehidupan tapol di kemudian hari. Mereka bisa saja dibebaskan dari tahanan, pembebasan ditunda, atau bisa pula kondisi mereka semakin buruk di dalam tahanan dengan berbagai siksaan yang harus mereka hadapi. Wieringa dan Katjasungkana (2019) menyebutkan bahwa hasil dari tes psikologi yang dilaksanakan terhadap para tapol digunakan sebagai dasar apakah seorang tapol bisa dibebaskan atau diinterogasi lebih lanjut. Laporan dari Amnesty International (1977) menyebutkan bahwa para tapol menerima berbagai siksaan dalam proses interogasi yang dilakukan oleh para petugas militer yang meliputi siksaan dengan dipukuli, disayat pisau, disundut dengan bara api rokok, disetrum, serta mengalami kekerasan seksual.

Seorang mantan tahanan politik bernama Pak Warno, dalam wawancaranya dengan Wieringa & Katjasungkana (2019), mengatakan bahwa ia pernah mengerjakan serangkaian psikotes. Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa orang-orang yang tidak bisa baca tulis juga diwajibkan untuk mengikuti psikotes, yang kemudian mereka kerjakan secara asal-asalan karena tidak ada orang yang membacakan soal-soal psikotes tersebut. Kemudian, Pak Warno juga mengatakan bahwa ia masuk dalam tapol kategori B dan berada dalam kamp tahanan selama 13 tahun. Dalam bagian lain, Wieringa dan Katjasungkana (2019) mewawancarai seorang jurnalis bernama Ibu Rusiyati. Ibu Rusiyati ditangkap pada 15 Oktober 1965 dan ditahan dalam kamp selama 13 tahun, tanpa melalui proses pengadilan. Dalam wawancara tersebut, Ibu Rusiyati mengatakan bahwa ia pernah mengalami suatu asesmen berupa wawancara yang dilakukan oleh beberapa orang psikolog untuk memeriksa seberapa jauh seorang tapol dipengaruhi ideologi komunis.

Dari apa yang terjadi pada suatu lembaran paling kelam dari sejarah Indonesia, Ilmu Psikologi (dan para ilmuwan Psikologi!) jelas memainkan peran penting dalam orkestrasi penahanan jutaan rakyat selama Peristiwa 65. Meski propaganda melalui berbagai media memainkan peran yang paling besar dalam mengonstruksi komunisme sebagai sesuatu yang berbahaya, tetapi Ilmu Psikologi memainkan peran sebagai alat justifikasi untuk mengonstruksi komunisme sebagai gangguan psikologis. Dalam hal ini, orang-orang yang ter/dieksklusi berada dalam posisi ketersingkiran karena konstruksi sosial yang dibangun dengan Ilmu Psikologi sebagai fondasinya.

Psikologi, Sejarah, dan Netralitas Palsu

Peristiwa 65 dipandang sebagai awal dari berdirinya rezim kediktatoran Orde Baru (Roosa, 2008). Dapat dikatakan bahwa Ilmu Psikologi terjerumus menjadi pelayan dari rezim kediktatoran ini dan dengan begitu menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan begitu rawan untuk dimanfaatkan oleh rezim yang berkuasa. Oleh karena itu, dalam perjumpaan dengan Psikologi, menjadi penting untuk tidak memakai kacamata kuda dan memperluas pandangan supaya kenaifan dalam produksi (dan reproduksi) ilmu pengetahuan dapat setidaknya diminimalisir. Selain karena begitu rawan untuk dimanfaatkan oleh penguasa, kenaifan ilmu pengetahuan (Psikologi!) tampaknya juga sangat mengedepankan apa yang disebut sebagai objektivitas.

Objektivitas memang menjadi suatu hal yang penting dalam diskursus ilmu pengetahuan, tetapi seringkali objektivitas justru menjadi legitimasi bagi suatu kelompok tertentu dan berpotensi menyingkirkan kelompok yang lain. Dalam kasus pemanfaatan ilmu Psikologi pada Peristiwa 65, jelas bahwa objektivitas ilmu pengetahuan dimaanfaatkan oleh penguasa untuk menyingkirkan suatu kelompok tertentu. Atau misalnya pengetahuan biologi, kultural, serta antropologi yang dimanfaatkan oleh ideolog Nazi untuk mendiskreditkan kelompok Yahudi dan kemudian menyingkirkannya (Steizinger, 2018). Standar akademis dalam diskursus ilmu pengetahuan menuntut objektivitas yang tinggi dalam produksi ilmu pengetahuan, tetapi mengapa objektivitas ini berpotensi menimbulkan masalah? Parker (2015) menyebutkan bahwa Psikologi menganut suatu bentuk objektivitas yang disebut sebagai “netralitas palsu” (fake neutrality). Netralitas palsu ini kemudian mengaburkan adanya aspek personal, institusional, dan politis dari produksi pengetahuan. Untuk itu, refleksivitas menjadi satu hal yang penting untuk dilakukan dalam rangka produksi pengetahuan.

Dalam refleksi atas perjumpaan saya dengan Psikologi, perjumpaan dengan pengetahuan soal peristiwa 65 memainkan peran yang penting. Sejarah, nampaknya menunjukkan sumber daya yang begitu melimpah untuk melakukan refleksi. Anderson (2000) memperingatkan, bahwa mereka yang tidak belajar dari sejarah akan dikutuk untuk mengulanginya. Sementara itu, Žižek (2020) menunjukkan suatu ironi dengan mengatakan bahwa sejarah telah mengajarkan banyak hal pada kita, tetapi satu-satunya hal yang bisa kita pelajari dari sejarah adalah bahwa kita tidak belajar apapun darinya. Ilmu psikologi yang dimanfaatkan oleh penguasa pada Peristiwa 65 menjadi sebuah peringatan bahwa ilmu pengetahuan perlu didekati secara kritis.

Verhaeghe (2014) menunjukkan dalam sejarah bahwa ilmu pengetahuan menjadi suatu kekuatan untuk mengatur arah gerak masyarakat. Misalnya fasisme yang dikatakan sebagai ideologi yang ingin menciptakan masyarakat yang sempurna berdasarkan ilmu pengetahuan. Ia mengeksklusi individu-individu berdasarkan kriteria-kriteria yang dianggap sebagai pengetahuan yang objektif, didukung dengan data-data seperti pengukuran lingkar kepala, tes inteligensi, serta pemeriksaan psikologis. Data itu kemudian digunakan sebagai dasar untuk membuat dikotomi mana individu yang baik dan mana individu yang buruk. Mudah ditebak bahwa kemudian yang buruk dieliminasi dan dimusnahkan. Fasisme, secara selektif menciptakan kondisi ”survival of the fittest”, hanya yang dianggap kuat dan sesuai dengan kriteria penguasa-lah yang akan bertahan. Setelah lebih dari lima puluh tahun, kondisi kita tak banyak berubah, ”survival of the fittest” hanya mengubah wajahnya di bawah rezim kapitalisme.

Psikologi 65. . . lalu Kapitalisme

Peristiwa 65 membawa perubahan yang begitu besar bagi bangsa Indonesia. Dalam analisisnya soal pembunuhan para Jenderal Angkatan Darat pada 30 September 1965, Roosa (2008) menyebutkan bahwa kejadian tersebut dimanfaatkan oleh kelompok militer yang dipimpin oleh Soeharto untuk melakukan kudeta merayap (creeping coup) terhadap presiden Soekarno. Selain itu, G30S juga dijadikan dalih untuk pembunuhan massal dan penangkapan terhadap orang-orang yang dianggap atau dicurigai berafiliasi dengan PKI. Pasca 65, gerakan kiri di Indonesia praktis menghadapi kematian. PKI dibubarkan dan menjadi partai terlarang, anggotanya dibunuhi, dan dipenjara. Pendekatan Materialisme Historis dan Materialisme Dialektis yang digagas dalam Marxisme dan menjadi dasar dari ideologi partai ini menjadi sesuatu yang terlarang untuk dipelajari. Di bawah kekuasaan Soeharto, Indonesia menjadi sangat anti-komunis. Hal ini kemudian tidak dapat dilepaskan dari konteks Perang Dingin (1947–1971) yang terjadi antara Amerika Serikat dengan Uni Soviet. Pada masa kepemimpinannya, Soekarno adalah sosok seorang presiden karismatik yang dicintai rakyatnya. Ia dikenal sebagai sosok yang berpihak pada rakyat dan sangat keras menolak intervensi Amerika yang dianggap sebagai kekuatan kolonialisme dan imperialisme gaya baru (Wieringa & Katjasungkana, 2019). Dalam konteks ini, Amerika merayakan pembantaian besar-besaran terhadap kelompok sayap kiri di Indonesia sebagai kemenangan mereka atas komunisme. Setelah Soeharto naik ke tampuk kekuasaan Republik Indonesia pada bulan Maret 1967, ia memuluskan jalan terhadap masuknya modal asing ke Indonesia (Bevins, 2020). Masuknya modal asing ke Indonesia kemudian dapat dilihat sebagai masuknya kapitalisme ke Indonesia.

Lantas apa implikasi kapitalisme terhadap Psikologi? Setidaknya ada dua hal yang penting untuk dicatat terkait dengan Psikologi dan kapitalisme, yakni terkait dengan obyektivikasi dan atmosfer neoliberalisme. Terkait dengan obyektivikasi, Parker (2005) mengatakan bahwa ilmu psikologi memiliki kapasitas yang sangat bagus dalam memperlakukan manusia sebagai suatu benda (objek). Ketika terjadi obyektivikasi, maka kecenderungan untuk mereduksi manusia yang amat kompleks menjadi lebih atomistik dan fragmentatif menjadi mungkin terjadi. Kecenderungan atomistik dan fragmentatif tersebut dapat dicermati dalam pengukuran level ke-komunis-an sebagaimana disebutkan dalam bagian sebelumnya. Level ke-komunis-an hanya melihat tingkatan kadar komunis seseorang tetapi enggan untuk memahami mengenai kompleksitas pengalaman manusia Indonesia pada periode kelam tersebut.

Masuknya aliran dana yang begitu besar setelah Peristiwa 65 juga menunjukkan bahwa perkara ekonomi juga menjadi senjata untuk mengatasi perkara kebangsaan. Setelah jutaan rakyat dibantai, keran ekonomi yang dibuka menunjukkan betapa kehidupan sebuah negara-bangsa hanya ditentukan oleh ekonominya, bukan kemanusiaannya. Indonesia mulai diwarnai dengan berbagai macam rencana pembangunan demi kesejahteraan ekonomi. Setidaknya, begitulah cara kerja kapitalisme dalam Indonesia di awal kepemimpinan Soeharto: menutupi borok kemanusiaan dengan imajinasi soal kesejahteraan ekonomi. Dalam praktiknya, kesenjangan antara penguasa dengan rakyat semakin melebar. Seorang penguasa adalah pula pengusaha, sebaliknya seornag pengusaha dengan mudah menjadi penguasa. Terkait dengan hal tersebut, kapitalisme menjadi sebuah sistem yang menciptakan kesenjangan sosial begitu jauh, kemudian ia juga menciptakan berbagai masalah terhadap kemanusiaan. Contoh lain yang relevan saat ini adalah terkait bencana ekologis. Kerusakan lingkungan disebut oleh Žižek (1989/2008) sebagai konsekuensi logis dari corak produksi kapitalis karena sifat dari kapitalisme yang berorientasi pada keuntungan ekonomi belaka (profit-oriented). Selain soal kerusakan lingkungan yang terjadi karena sifat kapitalisme yang hanya berorientasi pada keuntungan ekonomi, sistem ini kemudian membawa implikasi pada produksi ilmu pengetahuan yang juga berorientasi pada keuntungan ekonomi belaka.

Sebagaimana disebutkan Parker (2005) implikasi kedua kapitalisme terhadap Psikologi adalah bahwa Ilmu Psikologi melayani kebutuhan sistem kapitalisme dengan mendukung kompetisi individual yang mengisolasi individu satu dengan lainnya. Sistem kompetisi dan isolasi individu inilah yang kemudian disebut sebagai atmosfer neoliberalisme. Neoliberalisme menyerahkan nasib manusia pada sistem pasar. Kalau Anda menjadi seorang pengangguran, penyelesaian bukan pada penciptaan lapangan kerja, tetapi lebih pada kegagalan Anda menyesuaikan diri dengan selera pasar. Alih-alih memandang manusia secara individual belaka, serta mengisolasi mereka dari lingkungan sosialnya, yang juga penting untuk dilakukan adalah soal pemahaman terhadap sistem sosial dimana manusia itu menghidupi kehidupannya.

Orientasi kapitalisme pada keuntungan ekonomis ini lantas disebut dalam terminologi Marxian sebagai fetisisme komoditas (commodity fetishism). Žižek (1989/2008) menyebutkan bahwa fetisisme komoditas hanya terjadi pada masyarakat kapitalis, ia lantas menjadi determinan relasi sosial dalam masyarakat kapitalis. Relasi sosial dalam masyarakat kapitalis mengikuti model pertukaran pasar bebas, yang memungkinkan seseorang untuk melihat orang lain sebagai subjek yang menarik karena ia memiliki sesuatu (komoditas) yang dapat memuaskan kebutuhannya. Relasi sosial antar-individu dalam hal ini tersamar di bawah logika pasar, yaitu relasi antar-komoditas. Salah satu contoh ekstrem dari fetisisme komoditas ini adalah yang terjadi di Indonesia pada Peristiwa 65. Dengan tujuan yang politis dan juga motif ekonomi yang kuat, dalam Peristiwa 65 Amerika Serikat dengan CIA-nya menghancurkan apapun yang menghalangi intervensi Amerika dan kekuatan kapitalisme-nya untuk masuk ke Indonesia. Amerika melihat bahwa Indonesia memiliki kekayaan alam (komoditas) yang luar biasa dan hal inilah yang kemudian menjadi salah satu alasan bagi Amerika untuk menjalankan operasi pembersihan komunis di Indonesia (Bevins, 2020).

Dari dua implikasi perjumpaan Psikologi dengan kapitalisme, pemahaman soal sistem sosial dimana manusia menghidupi kehidupannya, yang menjadi penting untuk dibahas dalam kaitannya dengan refleksivitas adalah soal kewaspadaan (awareness). Sebagai “subjek” yang mengalami perjumpaan dengan Psikologi, kita membutuhkan kesadaran bahwa dalam masyarakat kontemporer, kita diinterpelasi menjadi subjek dari kapitalisme. Althusser (1970/2012) mengatakan bahwa ideologi menginterpelasi individu menjadi subjek. Interpelasi oleh ideologi ini, lantas membuat kita secara bebas menundukkan diri pada ideologi. Dalam rezim kapitalis, maka kita menundukkan diri pada kapitalisme. Chibber (2018) mengatakan bahwa pada dasarnya, kapitalisme adalah sebuah sistem ekonomi berdasarkan prinsip pasar bebas, tetapi ia memengaruhi kehidupan sosial masyarakat jauh lebih mendasar. Karena sifatnya yang selalu mengedepankan keuntungan ekonomi, ia mengubah pola interaksi sosial pada manusia, ia menciptakan kelas-kelas pada sistem sosial dimana kita hidup. Kelas pekerja, yang dieksploitasi untuk menghasilkan keuntungan bagi kelas kapitalis, yaitu mereka yang memiliki alat produksi. Lalu bagaimana kapitalisme, dengan sistem pasar bebasnya mengubah pola interaksi sosial pada manusia?

Psikologi di Hadapan Kredo Kapitalisme

Kredo yang selalu digaungkan dalam kapitalisme adalah soal kebebasan (freedom), namun kebebasan dalam kapitalisme adalah kebebasan yang ilusif. Menurut Chibber (2018) kebebasan ilusif ini adalah kebebasan individual yang inheren dalam kompetisi pasar bebas. Kebebasan ini kemudian menjadi sebuah dalih untuk menutupi eksploitasi kapitalis terhadap kelas pekerja. Han (2017) mengatakan bahwa hal ini sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari ketika melihat kemiskinan dan mengabaikan masalah struktural yang inheren di dalamnya. “Jika kamu miskin atau tidak kaya, maka salahkanlah dirimu karena tidak bekerja keras”, kira-kira seperti itu kredo kebebasan dalam kapitalisme bekerja. Namun, masalahnya dalam sistem pasar bebas, orang-orang tidak berkompetisi dalam ruang yang setara, beberapa orang bisa memiliki akses terhadap sumber daya yang melimpah, namun banyak orang yang tidak memiliki akses terhadap sumber daya itu. Karena kebebasan ilusif yang inheren dalam sistem kapitalisme, maka kemajuan kapitalisme membawa kita pada masyarakat neoliberal. Lantas dominasi narasi individual menjadi sesuatu yang tak terhindarkan dalam masyarakat neoliberal (Verhaeghe, 2014). Penekanan yang berlebih pada individu inilah yang kemudian mengubah lanskap sosial manusia kontemporer.

Masalah individuasi yang muncul dalam masyarakat neo-liberal kontemporer, dalam kaitannya dengan diskursus keilmuan Psikologi kemudian muncul dalam narasi soal psikologi populer dan self-help seperti yang ditunjukkan oleh Jan De Vos. De Vos (2015) menuliskan bahwa self-help mendukung hiper-individualitas. Narasi yang dibawa oleh self-help dengan psikologi populer adalah soal sesuatu tentang menjadi diri sendiri (“dare to be yourself”, “being your best self”). Narasi psikologis untuk “menjadi individu yang unik”, kemudian beroperasi secara ideologis dalam masyarakat. Ideologi “menjadi diri sendiri” ini lantas berperan penting dalam mengkonstruksi suatu bentuk tertentu dari diri (self) seseorang. Dengan kerangka gagasan Althusser (1970/2012) soal ideologi yang menginterpelasi individu sebagai subjek, maka seseorang dipanggil untuk menjadi dirinya sendiri dalam ideologi psikologis ini. Lalu apa yang menjadi problem dengan menjadi diri sendiri ini? De Vos (2015) mengungkapkan bahwa “menjadi diri sendiri” atau “menjadi individu yang unik” lantas menjadi diktum yang diproduksi dengan suatu standar tertentu dalam Psikologi. Selain membentuk cara pandang kita terhadap diri sendiri, diktum ini juga membuat kita memandang orang lain serta dunia sosial dari menara gading perspektif keilmuan.

Dalam kaitannya dengan diskursus masyarakat neoliberal dan ideologi psikologis, lantas menjadi penting untuk kembali mempersoalkan kuasa (power). Han (2017) mengatakan bahwa kuasa (power) yang tadinya merupakan kuasa disipliner bekerja secara normatif dengan pelarangan atau negativitas, tetapi di bawah rezim neoliberal, kuasa termanifestasi dalam bentuk positif sebagai sebuah diktum yang imperatif. Dalam bentuknya yang positif, kuasa neo-liberal tidak secara normatif mengatur dan membatasi kita namun ia mengajak kita untuk mencapai sesuatu. Dalam ajakannya untuk mencapai sesuatu, individu lantas disebut sebagai subjek-kesuksesan (achievement-subject) (Han, 2015). Untuk membentuk subjek-kesuksesan, rezim neoliberal mengeksploitasi kebebasan (freedom) dan bekerja dalam kuasa yang begitu besar. Menurut Han (2017), kita berada dalam penaklukan dan subjektivasi (subjugation and subjectivation) yang begitu efisien, dalam kebebasan (yang ilusif), kita bebas dari batasan eksternal, namun mengalami penaklukan dalam bentuk mencapai optimisasi dan kesuksesan yang kompulsif dengan mengarahkan pandangan pada diri sendiri. Dalam ilusi kebebasan neoliberal, subjek-kesuksesan justru menjadi budak absolut (absolute slave). Kita menjadi tuan sekaligus budak atas diri sendiri serta mengeksploitasi diri sendiri, ketika gagal, kita akan menyalahkan diri sendiri tanpa menoleh pada sistem yang kita hidupi.

Dalam kaitannya dengan kuasa neoliberal yang disampaikan Han (2017), permasalahan mengenai self-help dalam psikologi tampaknya dapat ditelanjangi jika kita melihat masalah ini secara kritis. De Vos (2015) menunjukkan soal fetisisme dan glorifikasi dari individu yang bebas dan psikologisasi individu. Yang dimaksud dari hal ini adalah adanya tendensi eskapisme (escapism) yang memisahkan individu dari kondisi sosialnya. Eskapisme dapat muncul dari aktivitas semu dalam psikologi, seperti, pengisian kuesioner, atau mengerjakan suatu tugas sebagai bentuk kepasifan kita dalam dunia sosial. Hal ini dimungkinkan untuk terjadi karena kuasa neoliberal yang mengajak kita untuk mencapai optimisasi diri dan kesuksesan, berkelindan dengan interpelasi psikologi untuk “menjadi diri sendiri”, “menjadi individu yang unik”.

Generasi Ketiga Peristiwa 65

Berangkat dari perubahan masyarakat yang disipliner menuju masyarakat yang terpsikologisasi, bagaimana penyelesaian Peristiwa 65? Apa dampak neoliberalisasi dunia terhadap kasus tersebut? Bagaimana dengan generasi keluarga penyintas yang secara tidak langsung mengalami Persitiwa 65, yang dalam hal ini adalah generasi ketiga?

Dalam konteks Peristiwa 65, selain adanya eksklusi terhadap kelompok sayap kiri, pendisiplinan juga dilakukan dengan eksklusi terhadap segala ingatan yang berlawanan dengan narasi resmi penguasa. Di bawah rezim Orde Baru yang sangat anti-komunis, setiap warga negara diinterpelasi dan dituntut menjadi subjek anti-komunis. Segala ingatan dan pengetahuan soal pembantaian dan penahanan paksa terhadap jutaan orang Indonesia pasca 65 dianggap sebagai pengetahuan yang berbahaya (Conroe, 2018). Represi memori lokal maupun personal soal Peristiwa 65 yang terjadi pada masa kekuasaan Orde Baru lantas membuat lanskap memori pembantaian 65 sebagai rahasia umum (open secret) yang enggan dipercakapkan dalam praktik hidup sehari-hari. Goodfellow (2002) menggambarkan represi memori ini dengan sebuah kasus di Klaten, Jawa Tengah. Salah seorang narasumber mengatakan bahwa sudah menjadi rahasia umum alun-alun Klaten merupakan kuburan massal bagi korban pembantaian 65, akan tetapi orang-orang sebisa mungkin melupakan hal tersebut. Perbincangan soal pembantaian 65 merupakan hal yang tabu, bahkan seseorang perlu menutupi ingatan itu dari lingkungan sosial terkecil, yakni keluarga (Ahmad, 2018). Adanya represi terhadap pengetahuan yang berbahaya tersebut berpotensi membuat transmisi memori soal pembantaian 65 ke generasi selanjutnya menjadi terputus. Hanya setelah Orde Baru runtuh, muncul secercah harapan untuk melanjutkan transmisi memori ke generasi selanjutnya. Peluang untuk membongkar tabu sosial serta penyelesaian terhadap kasus pembantaian 65 semakin menemui jalan terang.

Schreiner (2002) mengatakan bahwa pasca runtuhnya Orde Baru, generasi muda mulai mempertanyakan soal masa lalu bangsa Indonesia yang ditutup-tutupi oleh penguasa Orde Baru. Kemudian, bermunculan berbagai kontra-narasi dalam bentuk testimoni para korban, karya seni maupun dalam bentuk film. Munculnya berbagai kontra-narasi ini, dapat dibaca sebagai sebuah usaha untuk membongkar sebuah narasi resmi yang hegemonik dan sangat kontroversial (serta penuh dengan kebohongan). Selain itu, kerja jurnalistik, penelitian, maupun kesenian menjadi langkah taktis dalam rangka membuka percakapan mengenai Peristiwa 65. Berbagai langkah telah diambil sebagai bagian dari usaha dalam penyelesaian Peristiwa 65, termasuk dilaksanakannya Pengadilan Rakyat Internasional 65 (International People’s Tribunal 65/IPT 65) pada tahun 2015 di Den Haag, Belanda. Meskipun demikian, institusi negara tampak tidak serius dalam menangani penyelesaian Peristiwa 65. Usaha untuk membongkar tabu sosial berkaitan dengan Peristiwa 65 sangat rawan untuk dilabeli sebagai “usaha untuk membangkitkan komunisme” oleh penguasa. Bahkan, beberapa pensiunan militer justru menghalangi usaha-usaha resmi dalam penyelesaian Peristiwa 65 (Eickhoff, van Klinken & Robinson, 2017).

Tiga puluh lima tahun setelah 1965, Anderson (2000) mengatakan bahwa para aktor utama dan saksi kunci dari Peristiwa 65 (dan G30S) telah banyak yang meninggal atau dieksekusi mati, sedangkan mereka yang masih hidup memilih untuk menutup rapat-rapat mulutnya dengan berbagai motif. Kini, lima puluh enam tahun setelah 1965, para aktor utama dan saksi kunci pada Peristiwa 65 telah meninggalkan dunia ini. Namun, tidak sedikit penyintas yang telah mengalami dan melewati masa-masa kelam pasca-1965 senantiasa menuturkan ceritanya dan masih berjuang untuk mendapatkan rasa keadilan yang telah direnggut dari mereka. Para penyintas Peristiwa 65 inipun tak bisa hidup selamanya. Lantas, generasi selanjutnya diberi kesempatan untuk memutus warisan kebungkaman dan — mengutip Ben Anderson (1999) — membangun sebuah proyek bersama sebagai sebuah bangsa tanpa beban sejarah.

Berbagai tantangan tentu akan menghadang proses penyelesaian Peristiwa 65, selain dari institusi negara, tantangan itu datang pula dari narasi besar neoliberal. Di tengah dunia dengan narasi neoliberal yang begitu mengagung-agungkan dominasi individual, solidaritas sosial yang diperlukan dalam sebuah proyek bersama dalam penyelesaian Peristiwa 65 menjadi perkara yang tidak mudah. Meminjam logika Parker (2005) dan Althusser (1970/2012), masyarakat neoliberal diinterpelasi sebagai subjek yang senantiasa berkompetisi satu sama lain, sehingga kondisi tersebut menjadi sebuah tantangan besar bagi terciptanya solidaritas sosial. Anderson (1999) mengatakan bahwa proyek bersama demi masa depan bangsa perlu dihidupkan dan salah satu hal yang penting untuk dilakukan adalah mengakhiri praktik-praktik kekerasan yang mengakar kuat dalam masyarakat Indonesia. Berbagai praktik kekerasan yang telah begitu mengakar ini mungkin untuk dilakukan ketika kita juga siap untuk menghadapi masa lalu bahwa negeri ini dibangun di atas gunungan tulang-belulang sesama anggota bangsa. Meski solidaritas sosial sebagai fondasi proyek bersama ini berada di tengah tantangan neoliberal, hal itu bukan berarti narasi individual menjadi sesuatu yang tidak penting untuk dibicarakan. Narasi individual bisa jadi adalah sesuatu yang sangat penting dalam proyek bersama ini, tetapi penyelesaian struktural juga tidak kalah pentingnya.

Berbagai buku yang memuat memoar dari para penyintas Peristiwa 65 menyimpan narasi-narasi individual. Narasi-narasi individual tersebut memiliki signifikansi sosial dalam kontribusinya untuk membongkar narasi resmi dari penguasa. Hal yang penting pada narasi individual dalam memoar para penyintas adalah bagaimana memori-memori tersebut saling terhubung dan membentuk sebuah memori kolektif. Lantas, kolektivitas ini menjadi repertoire dari berbagai ragam pengalaman individual, entah sebagai penyintas maupun pelaku. Dalam perjumpaan saya dengan seorang cucu dari penyintas Peristiwa 65, ia bercerita soal keluarga dari ayahnya yang tercerai-berai setelah kakeknya dipenjarakan secara paksa. Ingatan tentang keluarga ayahnya ini lantas terhubung juga dengan ingatan-ingatan lain dari cucu para penyintas. Ingatan ini dapat dibaca sebagai sebuah representasi sosial, tetapi ingatan tak melulu soal representasi. Tentu saja, ingatan dapat juga digunakan sebagai cerminan kondisi individu untuk memahami kondisi sosio-historisnya.

Sebagai generasi penerus yang diberi kesempatan untuk membangun sebuah proyek bersama sebagai sebuah bangsa untuk saat ini dan di masa depan, saya ingin mengutip semangat Walt Kelly dan Karl Marx yang dirangkum dan disampaikan dengan indah oleh Ben Anderson (2016): “Katak-katak dalam perjuangan mereka untuk emansipasi hanya akan kalah dengan mendekam dalam tempurungnya yang suram. Katak sedunia, bersatulah!”. Sebuah slogan yang disampaikan oleh Ben Anderson (kepada para peneliti muda) itu nampaknya menjadi sebuah slogan yang sangat relevan untuk disampaikan kepada kita yang mengalami perjumpaan dengan (Ilmu) Psikologi. Kita bisa saja melihat bahwa terkadang Ilmu Psikologi membatasi pandangan kita dan menyederhanakan perkara. Ilmu Psikologi, dengan begitu berisiko menjadi sebuah tempurung suram, dan kita terkungkung di dalamnya. Hidup di luar tempurung keilmuan Psikologi lantas dapat menjadi sebuah usaha emansipatoris bagi kita yang secara khusus mengalami perjumpaan dengan Ilmu Psikologi untuk berusaha memahami berbagai permasalahan yang kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari.

Daftar pustaka:

Ahmad, T. (2018). ‘Produksi dan reproduksi memori: Pengalaman keluarga eks tahanan politik PKI di Sulawesi Selatan’, Walasuji, 9 (2), pp. 289–302

Althusser, L. (1970/2012). Ideology and ideological state apparatuses (notes towards an investigation). In S. Žižek (ed), Mapping ideology (pp. 100–140). London & New York: Verso

Amnesty International. (1977). Indonesia. London: Amnesty International Publications

Anderson, B. R. O’G. (1999). ‘Indonesian nationalism today and in the future’, Indonesia, 67 (1), pp. 1–11

Anderson, B. R. O’G. (2000). ‘Petrus dadi ratu’, Indonesia, 70 (1), pp. 1–7

Anderson, B. R. O’G. (2016). Hidup di luar tempurung. Jakarta: Marjin Kiri

Bevins, V. (2020). The Jakarta method: Washington’s anticommunist crusade & the mass murder program that shaped our world. New York: PublicAffairs

Chibber, V. (2018). The ABCs of capitalism. New York: Jacobin Foundation

Conroe, A. (2018). The efficacy of “dangerous knowledge: “Children of victims” in Indonesia after 1965. In Katharine M., Jess M. & Annie P. (eds), The Indonesian genocide of 1965: Causes, dynamics and legacies (pp. 199–214). Cham: Palgrave Macmillan

De Vos, J. (2015). Self-help and pop psychology. In Ian P. (ed), Handbook of critical psychology (pp. 250–258). New York: Routledge

Eickhoff, M., van Klinken, G. & Robinson, G. (2017). ‘1965 today: Living with the Indonesian massacres’, Journal of genocide research, 19 (4), pp. 449–464

Goodfellow, R. (2002). Forgetting what it was to remember the Indonesian killings of 1965–6. In In Kenneth C. & Robert C. (eds), Historical injustice and democratic transition in Eastern Asia and Northern Europe: Ghosts at the table of democracy (pp. 38–56). London & New York: Routledge

Gutting, G. (2005). Foucault: A very short introduction. New York: Oxford University Press

Han, B. C. (2015). The burnout society. California: Stanford University Press

Han, B. C. (2017). Psychopolitics: Neoliberalism and new technologies of power. London & New York: Verso

Jameson, F. (1977). ‘Imaginary and symbolic in Lacan: Marxism, psychoanalytic criticism, and the problem of the subject’. Yale French studies, 55 (56), pp. 338–395

Kartika, D. A. (2016) ‘The politicization of psychology: the role of psychologists in Indonesia’s detention camps during the New Order era’. MA thesis, Institute of Social Studies, The Hague

Lemke, T. (2011). Biopolitics: An advanced introduction (E. F. Trump, Trans). New York & London: New York University Press (Original work published 2007)

Montero, M. (2015). Political psychology: Critical approaches to power. In Ian P. (ed), Handbook of critical psychology (pp. 137–144). New York: Routledge

Mudjayin. (2008). Dibebaskan tanpa kebebasan: Beragam peraturan diskriminatif yang melilit tahanan politik tragedi 1965–1966. Jakarta: KontraS

Parker, I. (2005). Qualitative psychology: Introducing radical research. Berkshire: Open University Press

Parker, I. (2015). Introduction: principles and positions. In Ian P. (ed), Handbook of critical psychology (pp. 1–9). New York: Routledge

Roosa, J. (2008). Dalih pembunuhan massal: Gerakan 30 September dan kudeta Suharto. Jakarta: Hasta Mitra

Schreiner, K. H. (2002). Remembering and forgetting at ‘lubang buaya’: The ‘coup’ of 1965 in contemporary Indonesian historical perception and public commemoration. In Kenneth C. & Robert C. (eds), Historical injustice and democratic transition in Eastern Asia and Northern Europe: Ghosts at the table of democracy (pp. 57–78). London & New York: Routledge

Steizinger, J. (2018). ‘The significance of dehumanization: Nazi ideology and its psychological consequences’, Politics, religion & ideology, 19 (2), pp. 139–157

Teo, T. (2015). Theoretical psychology: A critical-philosophical outline of core issues. In Ian P. (ed), Handbook of critical psychology (pp. 117–126). New York: Routledge

Verhaeghe, P. (2014). What about me?: The struggle for identity in a market-based society. Melbourne & London: Scribe

Wieringa, S. & Katjasungkana, N. (2019). Propaganda and the genocide in Indonesia: Imagined evil. London & New York: Routledge

Žižek, S. (1989/2008). The sublime object of ideology. London & New York: Verso

Žižek, S. (2020). Pandemic! Covid-19 shakes the world. London & New York: OR Books

*Teks ini sebelumnya dimuat dalam bunga rampai “Refleksi, Diskresi, dan Narasi: Sejarah Perjumpaan dengan Psikologi” yang diterbitkan pada tahun 2021 oleh Sanata Dharma University Press, dimuat kembali pada platform ini sebagai arsip personal dan dalam rangka memudahkan akses publik. Saya memutuskan untuk mengunggah teks ini dalam rangka membaca ulang refleksi saya mengenai psikologi kritis yang akhir-akhir ini sedang coba saya pahami.

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

--

--

Michael Pandu Patria
Michael Pandu Patria

Written by Michael Pandu Patria

Bagi saya menulis sama dengan mengelola sampah, karena menulis adalah salah satu cara mengelola pikiran, dan pikiran saya isinya sampah.

No responses yet

Write a response