Nama, yang Imajiner (Bagian 1)

“γνῶθι σεαυτόν (gnothi seauton)”
Sebuah frasa imperatif (dalam bahasa) Yunani tertulis di atas Kuil Apollo di Delphi, yang dalam bahasa Inggris diartikan sebagai “know thyself” atau kenalilah dirimu (!), jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia. Perintah ini kemudian akan memicu timbulnya sebuah pertanyaan: “who am I?”, lantas siapakah aku? Bagaimana aku bisa mengenali diriku sendiri? Kita mungkin bisa bertanya pada Pythia, seorang pendeta Kuil Apollo yang terkenal dengan kemampuannya dalam meramal. Namun, mungkin kita bisa bertanya pada diri kita sendiri. Untuk menjawab pertanyaan: “siapakah aku?”, jawaban paling sederhana yang bisa kita berikan adalah nama kita sendiri, misalnya, “aku adalah Sarjo”. Namun, mengapa nama menjadi jawaban paling sederhana untuk menjawab pertanyaan mendasar mengenai siapa kita?
Nama (dan penamaan) adalah sesuatu yang identik dengan manusia. Nama menjadi sesuatu yang penting bagi manusia karena manusia adalah makhluk yang berbahasa (speaking beings) (Homer, 2005). Jacques Lacan, seorang psikoanalis Perancis, mengatakan bahwa yang menjadi karakter dari dunia manusia adalah fungsi simbolik, sebuah fungsi yang mengintervensi segala aspek kehidupan manusia (Ormrod, 2014). Fungsi simbolik ini berkaitan erat dengan bahasa, yang menurut Ferdinand de Saussure, seorang ahli linguistik Swiss, adalah sebuah sistem tanda (petanda-penanda). Menurut de Saussure, bahasa adalah sistem tanda (system of signs). Tanda (the signs), kemudian menjadi sesuatu yang mendasar dalam bahasa (Homer, 2005).
Homer (2005) menjelaskan bahwa gagasan petanda dan penanda dari de Saussure hadir sebagai kritik atas gagasan bahasa korespondensi yang melihat sistem tanda sebagai suatu tanda yang mengacu secara langsung pada objek material di dunia. Gagasan ini dapat dipahami dengan sebuah diagram yang menjelaskan sistem tanda dalam hubungan antara sebuah kata dengan konsep atau ide dan dengan suatu benda yang menjadi acuan dari kata tersebut.

Bagi de Saussure, sistem tanda tidak merepresentasikan suatu objek material yang menjadi acuan secara langsung. Sistem tanda lebih merepresentasikan gagasan dari suatu objek material, bukan objek material itu sendiri. Sebagai contoh, ketika dua orang bertemu dan berbicara mengenai ‘meja’ atau ‘pohon’, dua orang itu mungkin akan memiliki acuan yang berbeda soal ‘meja’ atau ‘pohon’. Namun, dua orang itu tentu bisa mengerti apa yang dimaksud dengan kata ‘meja’ atau ‘pohon’ karena kata itu lebih mengacu pada konsep atau gagasan dari ‘meja’ dan ‘pohon’, bukan suatu objek nyata ‘meja’ atau ‘pohon’. Kemudian, diagram di atas akan berubah menjadi:

Sistem tanda dalam gagasan de Saussure, terdiri dari dua elemen: elemen konseptual yang disebut sebagai petanda (signified) dan elemen fonologis yang disebut sebagai penanda (signifier). Sistem ini, secara sederhana digambarkan sebagai berikut:

Hubungan antara petanda dan petanda adalah hubungan yang arbiter dan didasari oleh kesepakatan sosial (social convention) (Evans, 1996). Bahasa, kemudian muncul sebagai suatu jaringan kompleks yang terdiri dari tanda-tanda. Ia bekerja dalam sistem pemaknaan (signification) antara tanda yang satu dengan tanda yang lain sebagai sebuah sistem. Suatu tanda tidak mengacu pada suatu objek material yang spesifik, namun mengacu pada tanda yang lain, yang kemudian mengacu pada tanda yang lainnya lagi, dan begitu seterusnya (Homer, 2005).
Dalam semesta tanda, lantas nama kita adalah nomenclature semata, ia hanyalah sebuah penanda identitas seseorang yang bersifat referal dengan nama dan kualitas definitif atas dirinya sendiri. Selain itu, ia hanya menjadi sebuah penanda untuk membedakan manusia satu dengan lainnya. Misalnya, ketika anda mengingat nama seorang teman, secara referal pikiran anda akan tertuju pada wajah teman itu secara spesifik, kemudian juga mengacu pada kualitas-kualitas fisik yang membedakan teman itu dengan orang yang lain. Dalam konteks ini, nama adalah sesuatu dengan kualitas deskriptif. Nama, menjadi sistem referal primer bagi identitas kita sebagai manusia. Namun, bagaimana sebuah nama menjadi berarti bagi kita? Apa arti nama bagi kita?
Nama, adalah suatu identitas, juga penanda yang diberikan oleh orang lain kepada diri kita. Misalnya, nama yang diberikan oleh orangtua kepada anaknya, atau kemudian dalam relasi sosial dalam lingkaran pertemanan tertentu seseorang bisa saja mendapat nama (julukan), yang dalam bahasa Jawa dikenal dengan istilah paraban. Berkaitan dengan hal ini, nama adalah suatu pemberian dari orang lain yang kemudian kita apropriasi dalam identitas kita. Ketika berkenalan dengan orang lain, kita akan mengatakan, misalnya “Halo, perkenalkan namaku Sarjo”, dan bukan mengatakan “Halo, salam kenal, aku diberi nama Sarjo oleh kedua orangtuaku.” Hal yang sederhana dan mendasar seperti inilah yang kemudian menunjukkan bagaimana sebuah nama adalah sesuatu yang diberikan, kemudian menjadi sesuatu yang terberi dan (kemudian) diapropriasi.
Ketika masih berada dalam usia balita, seorang anak cenderung memanggil dirinya sebagai subyek ketika mengucapkan suatu kalimat, dengan namanya. Seorang anak akan mengatakan, “Dodo pengin main sepeda sama kakak!”, alih-alih “Aku pengin main sepeda sama kakak!”. Nama sebagai sebuah identitas yang terberi, mulai diapropriasi pada momen ini. Dalam hal ini si anak mengenali dirinya dalam sebuah nama, alih-alih mengenali dirinya sebagai “aku”, hal ini terjadi karena adanya salah-pengenalan (misrecognition) atau salah-pemahaman (misunderstanding) yang diterjemahkan dari méconnaissance dalam terminologi Lacanian. Melalui salah-pengenalan (méconnaissance), ia kemudian memiliki pengetahuan imajiner mengenai dirinya sendiri (me-connaissance) (Evans, 1996; Homer, 2005). Hal ini, kemudian berkaitan dengan konsepsi Lacan mengenai fase cermin (mirror stage atau mirror phase).
Fase cermin merepresentasikan aspek fundamental dari struktur subjektivitas manusia. Fase ini menjelaskan pembentukan moi atau ego melalui proses identifikasi, berkaitan dengan hal ini, moi atau ego adalah hasil identifikasi seseorang dengan bayangan dirinya di cermin. Bayangan diri dalam konsep Lacanian tidak melulu merupakan bayangan diri yang nampak di dalam cermin (yang sebenarnya), bayangan diri ini juga tercermin dan nampak dalam gestur imitatif dari orang lain. Pada fase yang terjadi ketika seseorang berusia enam sampai delapan belas bulan ini, ia kemudian menyadari soal dirinya yang utuh (gestalt) dalam bayangannya di cermin. Namun, persepsi soal diri yang utuh ini justru menimbulkan persepsi soal diri yang terbelah (fragmented body) karena pada fase cermin, ia belum memiliki koordinasi motorik yang baik. Pengalaman ini adalah pengalaman dialektis yang dialami oleh seseorang pada fase cermin, ia teralienasi dari/dengan dirinya sendiri ketika rasa diri yang utuh diperoleh dari dirinya-yang-lain (self being an-other), yaitu bayangan dirinya di cermin (Evans, 1996; Homer, 2005).
Pengalaman primordial pada fase cermin ini adalah sesuatu yang simptomatik, yang kemudian membuat moi atau ego menjadi konstruk imajiner (Wilden, 1968/1981). Alienasi atau keterasingan yang muncul dari pengalaman di fase cermin kemudian dapat dipahami sebagai proses apropriasi identitas dari/dengan liyan. Ketika seorang anak mulai mengenali namanya sendiri, yang merupakan identitas yang terberi dari liyan, ia kemudian mengalami alienasi. Lantas terjadi proses dialektis dalam proses apropriasi identitas ini, ketika ia teralienasi (atas namanya sendiri), realisasi dirinya terletak pada liyan, sesuatu di luar dirinya sendiri. Homer (2005) mengatakan bahwa subyek tidak teralienasi dari sesuatu atau dari dirinya sendiri, alienasi adalah sesuatu yang menjadi dasar dari pembentukan subyek itu sendiri, “[T]he subject is alienated in its very being”.
Nama yang kita miliki, lantas menunjukkan hubungan kita dengan liyan (the little other dalam terminologi Lacanian). Lacan lantas mengatakan soal pentingnya liyan bagi seorang subjek: “[E]ach human being is in the being of the other”. Bagaimana liyan memberi nama sebagai identitas yang terberi dan (kemudian) kita apropriasi dapat dipahami dalam kerangka fungsi imajiner menurut konsepsi Lacan. Namun, untuk menjawab pertanyaan “who am I?”, kerangka fungsi imajiner ini belumlah cukup. Sebagai manusia yang selalu berada dalam relasi dengan liyan (the big Other dalam terminologi Lacanian), pemahaman mengenai fungsi simbolik atau tatanan simbolik untuk menjawab pertanyaan “who am I?” penting untuk dibahas. Ormrod (2014) mengatakan bahwa untuk menjadi subyek sosial, kita perlu masuk ke dalam bahasa. Kemudian, Wilden (1968/1981) mengatakan bahwa subyektivitas seseorang dapat ditemukan dengan apropriasi bahasa dari liyan (the Other), yang berarti masuknya seseorang ke dalam tatanan simbolik.
Ormrod (2014) mengatakan “Such a recognition is encouraged by parents who hold the infant in front of the mirror, and support it verbally by naming the reflection in the mirror as the child”. Fase cermin, yang menjadi dasar bagi tatanan imajiner, juga menjadi dasar bagi masuknya subyek ke dalam tatanan simbolik karena ada liyan (the Other) yang yang menginterpelasi subyek dengan pemberian nama pada bayangan diri subyek di cermin (the other).
Bersambung…
Daftar Acuan:
Evans, D. (1996). An introductory dictionary of Lacanian Psychoanalysis. London & New York: Routledge
Homer, S. (2005). Jacques Lacan. London & New York: Routledge
Ormrod, J. (2014). Fantasy and social movements. London: Palgrave Macmillan
Wilden, A. (1968/1981). ‘Lacan and the Discourse of the Other’, in Speech and language in psychoanalysis, J. Lacan, trans. A. Wilden, Baltimore and London: The Johns Hopkins University Press