Menyoal Bias Ideologis: Sebuah Refleksi Atas Pengalaman Pribadi

Saya adalah seorang mahasiswa PhD (Periode hampir Dropout) yang sedang mengerjakan tugas akhir kuliah, yaitu skripsi. Topik yang saya ambil untuk skripsi yang sedang saya kerjakan berkaitan dengan Tragedi 65, yang tentu tidak bisa tidak menyinggung masalah PKI atau komunisme. Pernah suatu kali, pada kesempatan saya melakukan bimbingan skripsi dengan dosen pembimbing skripsi saya, beliau berkomentar, saya tidak ingat persisnya seperti apa, tapi beliau mengatakan bahwa keberadaan Partai Komunis Indonesia, dan ideologi komunis tidak dapat hadir berdampingan dengan ideologi Pancasila sebagai dasar dari NKRI. Ideologi komunisme tidak dapat hadir berdampingan dengan Pancasila, pertama-tama adalah karena komunisme adalah ideologi yang tidak mengakui ketuhanan, sedangkan sila pertama pada Pancasila berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Saya kemudian memberi tanggapan kepada dosen pembimbing saya itu soal keberpihakan kepada para penyintas, bagaimana dalam menulis skripsi saya mencoba menunjukkan empati kepada para korban dan penyintas. Lantas, beliau menanggapi hal ini dengan mengatakan bahwa soal keberpihakan, dalam penelitian sebaiknya kita mengambil jarak dengan isu yang kita angkat dan kalau mau menunjukkan keberpihakan, tunjukkanlah keberpihakan terhadap kemanusiaan.
Dalam kesempatan lain ketika saya melakukan bimbingan skripsi lagi, beliau mengapresiasi tulisan saya, “tulisan kamu sudah bagus dan runtut”. Setelah itu, lagi-lagi muncul tanggapan lain soal ideologi, “tapi kok kelihatannya kamu mendukung ideologi tertentu ya, Pandu”. Kali ini saya sedikit bingung dan terkejut dengan tanggapan ini. Saya langsung tahu bahwa ideologi yang dimaksud beliau merujuk pada ideologi komunis. Seingat saya, saya tidak pernah membahas soal ideologi karena hal itu tidak termasuk dalam objek kajian saya sebagai mahasiswa psikologi. Pembahasan saya soal ideologi hanya terbatas pada peraturan soal pelarangan menyebarkan ideologi Komunisme/Marxisme-Leninisme.
Tanggapan dosen saya berkaitan dengan permasalahan ideologi tersebut masih menyisakan pertanyaan bagi saya, bagaimana bisa beliau memberi tanggapan seperti itu? Saya pun tidak pernah menyempatkan bertanya pada beliau soal hal ini. Namun saya sempat berspekulasi, mungkin propaganda Orde Baru soal komunisme yang digambarkan dengan begitu buruk masih melekat dengan begitu kuat dalam masyarakat. Saya kira, dosen pembimbing saya itu kini berumur sekitar 50an tahun, yang termasuk dalam generasi yang pernah merasakan betapa kuatnya cengkeraman Orde Baru dalam mendisiplinkan segala aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Di dalamnya termasuk pendisiplinan pikiran, bahwa komunisme adalah ideologi anti-Pancasila, karena itu dengan glorifikasi Pancasila maka rezim Orde Baru berdiri dengan dasar ideologi yang anti-komunis. Seperti yang dikatakan oleh sejarawan John Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massal bahwa pembasmian terhadap PKI dan komunisme menjadi raison d’être bagi kekuasaan Soeharto. Maka wajar, sebagai bagian dari generasi yang tumbuh di masa Orde Baru, pikiran bahwa komunisme itu adalah ajaran yang anti-kemanusiaan dan tidak berketuhanan masih diadopsi oleh dosen pembimbing skripsi saya. Bahkan, bagi generasi yang lahir ketika Orde Baru sudah di ujung tanduk dan akhirnya runtuh pun pikiran bahwa komunisme adalah suatu ideologi yang buruk pun nampaknya masih bercokol dengan cukup kuat.
Saya kemudian ingat sebuah buku karya romo Franz Magnis-Suseno, Dalam Bayangan Lenin yang suatu kali pernah saya baca dan menjadi salah satu buku yang membuat saya sempat mengagumi romo Magnis. Pada waktu itu, saya masih duduk di bangku SMA dan belum sadar soal propaganda ataupun hal-hal ideologis. Saya pikir romo Magnis adalah seorang intelektual berhalauan kiri. Namun ternyata saya salah, kini setelah saya pikir kembali, buku itu bermuatan anti-komunis. Dalam buku itu romo Magnis mengatakan bahwa komunisme adalah paham yang berbahaya, ia harus dilawan, namun sebagai seorang intelektual romo Magnis mengatakan bahwa komunisme harus dilawan pertama-tama dengan mempelajarinya. Tak lupa, dalam buku tersebut, untuk memperkuat kesan anti-komunis, romo Magnis menyertakan data-data “korban komunisme”, soal berdirinya kamp Gulag serta pembunuhan kaum klerus. Kini saya dapat mengatakan bahwa data-data itu adalah “propaganda klasik” anti-komunis.
Pengetahuan saya berkaitan dengan hal-hal ideologis tidaklah dalam atau luas, namun satu film soal ideologi yang menarik bagi saya adalah The Pervert’s Guide to Ideology yang digarap oleh Slavoj Žižek dan Sophie Fiennes. Dalam film tersebut, ideologi digambarkan sebagai sesuatu yang menjadi kacamata bagi kita melalui metafor dari They Live-nya John Carpenter. Kacamata ideologis itu akhirnya yang memengaruhi cara pandang kita dalam melihat berbagai fenomena sosial, seperti yang dikatakan Jacques Lacan, seorang psikoanalis Perancis, “in this matter of the visible, everything is a trap”. Akhirnya, dalam pemahaman soal realitas sosial, kesadaran ideologis bagi saya memainkan peran penting dalam menentukan persepsi kita.