Mengenai Hal-hal yang Tidak Pernah Selesai dan Jalan Terjal Menuju Kemenangan

Barusan, saya mengikuti sebuah webinar soal warisan ingatan berkaitan dengan kejadian 65. Saya selalu antusias mengikuti segala hal berkaitan dengan tragedi 65, namun kadang saya merasa bahwa berkaitan dengan sejarah kelam tersebut, hal-hal yang selalu dibicarakan ya soal itu-itu saja. Bukan berarti ini menjadi membosankan, namun menurut saya persoalan ini semakin lama semakin jenuh jika berbicara soal data. Kemudian jika berbicara soal kejenuhan, akhirnya tidak ada perkembangan dari kasus ini. Dari dulu hingga sekarang, selalu dikatakan soal kejahatan terhadap kemanusiaan, namun segala tuntutan terkait dengan pemenuhan rasa keadilan terhadap korban tidak pernah dipenuhi. Bahkan nampaknya tidak muncul pengakuan resmi dari negara soal kejahatan itu, padahal putusan final dari International People’s Tribunal 1965 menyatakan bahwa negara bersalah.
Jika berbicara dalam konteks penelitian, tidak ada kebaruan berkaitan dengan peristiwa 65. Dalam konteks sejarah, narasi alternatif soal pembunuhan massal serta berbagai kejahatan yang terjadi pasca G30S sudah banyak sekali dibahas. Narasi-narasi alternatif telah memasuki ruang diskursif kontemporer melalui media sosial. Stigma negatif soal PKI atau komunisme seolah telah memudar, namun masih saja menjadi isu yang panas untuk “digoreng” di media sosial. Saya sendiri masih memiliki rasa tidak nyaman ketika berbicara soal 65 di ruang publik, misalnya saat mengobrol di warung kopi atau angkringan, namun untuk menuliskannya di media sosial atau di blog pribadi seperti ini, saya merasa lebih nyaman. Entah kenapa. Meski berbagai narasi alternatif telah banyak dibicarakan (setidaknya jauh lebih banyak dibicarakan secara terbuka ketimbang era Orde Baru), namun bayang-bayang ketakutan tampaknya masih menyelimuti. Tidak ada perkembangan. Soal ketakutan, ia terus dipelihara.
Soal produksi pengetahuan mengenai tragedi 65, nampaknya ada perkembangan yang cukup baik. Tahun lalu, Vincent Bevins menulis sebuah buku yang ia beri judul The Jakarta Method, yang isinya kurang lebih berkaitan dengan konteks global tragedi 65. Jika menelusuri lebih jauh, banyak sekali kerja-kerja dalam rangka produksi pengetahuan soal tragedi 65, namun lagi-lagi bagi saya tidak ada perkembangan soal kasus ini. Perjuangan orang-orang yang berjuang untuk isu ini adalah perjuangan memperjuangkan keadilan lewat jalan yang panjang dan terjal. Beberapa orang telah melalui perjuangan seumur hidup demi mengembalikan rasa kemanusiaan yang direnggut dari mereka. Banyak penyintas 65 yang telah gugur, sebelum mereka dapat merasakan hasil dari perjuangan mereka. Di beberapa tempat, rekonsiliasi telah terjadi. Beberapa orang mungkin telah merasakan buah manis dari perjuangan mereka menuntut rasa keadilan. Namun, tragedi 65 adalah kasus besar, ia terjadi dan berdampak pada, jika tidak seluruh, sebagian besar masyarakat Indonesia.
Tidak adanya kemajuan dari kasus kejahatan terhadap kemanusiaan, bagi saya meninggalkan sebuah legacy. Paling tidak, ada ingatan yang harus dijaga. Hal-hal buruk pernah terjadi di masa lalu. Hal-hal buruk terus terjadi. Ingatan-ingatan, serta kisah-kisah hidup para penyintas tragedi 65 menjadi hal yang penting untuk dijaga. Dalam webinar seri warisan ingatan yang saya ikuti, salah seorang narasumber mengatakan sesuatu berkaitan dengan ajaran agama Katholik, soal salib, yang mulanya adalah tanda penghinaan, kini menjadi tanda keselamatan dan kemenangan. Ia memandang para penyintas tragedi 65 sebagai ‘pemenang kehidupan’. Saya sangat setuju. Mereka adalah pemenang kehidupan, kelak, orang akan mengenang mereka sebagai pemenang. Romantis, namun pahit, karena ‘kelak’ adalah masa depan yang sangat jauh, saya pun tidak bisa membayangkan kapan hari itu akan datang.