Hantu, yang Selalu Datang dari Masa Lalu

Michael Pandu Patria
6 min readMay 12, 2021

sumber gambar dari indoprogress.com

Beberapa hari terakhir, saya membaca berita soal penetapan TPNPB-OPM (Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Organisasi Papua Merdeka) atau yang kerap disebut dengan istilah KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata) sebagai kelompok teroris. Saya pribadi, membaca penetapan ini sebagai sesuatu yang problematis, salah satunya sebagai upaya stigmatisasi terhadap suatu kelompok masyarakat yang spesifik. Hal ini lantas memanggil hantu dari masa lalu, berkaitan dengan kejadian kekerasan yang luar biasa mengerikannya.

Kekerasan sistematis, memerlukan dalih supaya dimungkinkan untuk terjadi. Pada peristiwa Holocaust, stigmatisasi dan wacana dehumanisasi (sistematis) terhadap orang-orang Yahudi dimunculkan sebagai dalih untuk membantai jutaan nyawa. Pada pembunuhan massal terhadap orang Tutsi di Rwanda, wacana dehumanisasi dengan menggambarkan orang-orang Tutsi sebagai kecoa, juga menjadi sebuah dalih untuk pembantaian. Yang paling dekat dengan kita adalah soal pembunuhan massal terhadap kelompok sayap kiri (dan yang dituduh sebagai anggota kelompok ini) pada tahun 1965–1966 dengan dalih untuk menyelamatkan negara dan ideologi Pancasila (dari bahaya komunis). Lantas, sebagai dalih untuk melakukan kekerasan (dan pembunuhan) di tanah Papua, kini label teroris disematkan kepada mereka yang menginginkan kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri (di tanahnya sendiri!).

TPNPB-OPM kerap disebut sebagai kelompok separatis dan harus ditumpas demi menjaga kedaulatan dan keutuhan NKRI. Kini, selain demi menjaga keutuhan NKRI, label teroris secara resmi kini disematkan agar mereka dapat ditumpas demi menjaga kedamaian, keamanan dan kesejahteraan rakyat. Teroris diandaikan sebagai kelompok orang yang senantiasa mengusik rasa aman dan nyaman masyarakat. Pengandaian inilah yang kemudian memunculkan stigma dalam masyarakat. Stigma, menjadi sesuatu yang sangat berbahaya ketika ia dilibatkan dalam wacana kekerasan dan politik. Sejarah telah memberi banyak pelajaran bagi manusia, namun, tampaknya Hegel benar, the only thing we can learn from history is that we learn nothing from history. Meski telah diberi banyak pelajaran, manusia mungkin tidak pernah menjadi bijaksana. Stigma yang dulu menghantui masyarakat pasca 65, mungkin juga menghantui masyarakat Papua. Stigma PKI pernah membuat negeri ini banjir darah, haruskah tanah Papua menjadi ladang pembantaian pula? Setelah bertahun-tahun jalan kekerasan menjadi jalan yang dipilih Jakarta, bukankah penetapan TPNPB-OPM sebagai kelompok teroris, yang mengandung tendensi stigmatisasi ini justru berpontensi menyebabkan eskalasi kekerasan?

Nampaknya, hantu kekerasan selalu bergentayangan di negeri ini. Ben Anderson, dalam sebuah esainya yang berjudul Petrus Dadi Ratu, memperingatkan: “Mereka yang tak mau tahu masa lalu dihukum untuk mengulanginya. Mengerikan, bukan?” Hal lain yang bagi saya memanggil hantu dari masa lalu adalah soal stigma yang rawan digeneralisasi. Mengutip dari berita yang dirilis oleh CNN Indonesia, bahwa “Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD memastikan pemerintah telah mengkategorikan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua serta seluruh organisasi dan orang-orang yang tergabung di dalamnya, dan yang mendukung gerakan tersebut, sebagai teroris.”, mengingatkan saya terhadap pengetahuan mengenai pembunuhan massal 65–66. Pada kejadian berdarah itu, orang-orang yang dianggap terlibat (secara langsung maupun tidak langsung) dalam Gerakan 30 September (G30S) dan mendukung gerakan tersebut lantas dianggap sebagai pengkhianat negara dan dianggap pantas untuk dibunuh (atau disiksa). Narasi yang dikembangkan pada waktu itu, menciptakan polarisasi (dengan implikasi) ekstrem dalam masyarakat, jika tidak mengecam G30S, maka seseorang dianggap sebagai simpatisan gerakan itu. Pada waktu itu, diciptakan kondisi ‘kita vs mereka’, tidak ada posisi ‘netral’. Jika termasuk dalam simpatisan G30S (yang kemudian juga berarti simpatisan komunis), minimal orang akan di-sel dan digebuki, namun yang juga banyak terjadi adalah orang akan dibunuh dan mayatnya dibuang entah kemana. Betapa mengerikannya persoalan stigma ini!

Kondisi ‘kita vs mereka’ dikonstruksi oleh penguasa sebagai suatu bentuk psychological warfare (psy-war). Ini tidak hanya terjadi pada waktu pembunuhan massal 65–66 saja, Freek Colombijn dalam What is so Indonesian about Violence, juga menyebutkan soal psy-war yang dimanfaatkan ketika Jakarta menghadapi perlawanan Aceh yang ingin merdeka, “Either to side with the state or to be associated with the state’s enemy. There was no such thing as a neutral position”. Saya bayangkan, penetapan TPNPB-OPM sebagai teroris dalam kaitannya dengan psy-war yang sangat tipikal ini. “Kamu pihak teroris atau NKRI harga mati?!” masyarakat sipil, yang mungkin hanya ingin pergi ke ladang, atau mencari ikan di sungai, mungkin akan menjadi korban, hanya karena ia dicurigai sebagai ‘pendukung teroris’. Kalau begitu, sebenarnya siapa pembawa terror yang sebenarnya?

Dalam bahasa Orde Baru, kita mungkin mengenal apa yang dinamakan sebagai Gerakan Pengacau Keamanan atau GPK (yang kemudian juga dipakai untuk menjuluki sang penguasa rezim ini dengan menyebutnya: Gali Pelarian Kemusuk). Istilah GPK muncul sebagai justifikasi atas tindakan kekerasan yang digunakan oleh penguasa untuk meredam gerakan-gerakan perlawanan dari milisi-milisi di daerah yang ingin melepaskan diri dari Jakarta. Dalam konteks Papua, kini, mungkin istilah GPK tidak terlalu populer dan banyak digunakan untuk memberi label terhadap gerakan-gerakan perlawanan, istilah KKB nampaknya lebih populer. Mungkin, setelah penetapan (secara resmi) TPNPB-OPM sebagai kelompok teroris, istilah KKB akan kalah populer dengan menyebut mereka sebagai teroris. Sebelumnya mereka diteriaki “monyet!”, kini mereka ada dalam risiko akan diteriaki “teroris!”

Bahasa lain yang dimanfaatkan oleh Orde Baru sebagai dalih untuk melakukan kekerasan adalah “keamanan dan ketertiban”. Dalam pembunuhan massal (pembersihan) kelompok sayap kiri di Indonesia pada tahun 1965–1966, Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) dibentuk sebagai instrumen untuk melakukan ‘penumpasan PKI’. R. E. Elson dalam In fear of the people: Suharto and the justification of state-sponsored violence under the new order menyebutkan soal legitimasi kekuasaan Orde Baru yang dibangun atas nama keamanan dan pembangunan. Soal keamanan dan pembangunan, terdengar begitu familiar. Meski rezimnya telah tumbang dua puluh tiga tahun lalu, nampaknya hantu Orde Baru masih bergentayangan. Ketika berbicara soal Papua, tak jarang orang mengatakan soal jasa Jakarta dalam pembangunan daerah, namun yang tidak banyak dibicarakan adalah soal terror yang dirasakan masyarakat Papua karena jalan kekerasan yang dipilih Jakarta. Mengutip R. E. Elson, “Why so many tolerate it? Even some appear to applaud it”.

Daniel Dhakidae, dalam kata pengantar untuk Imagined Communities-nya Ben Anderson (yang adalah gurunya sendiri), dengan cemerlang menuliskan soal permasalahan nasionalisme di Indonesia, soal berbangsa dan bernegara. Daniel menyatakan soal tidak relevannya perbincangan mengenai nasionalime di tengah dobrakan modal internasional (investasi!). Namun, ketika beberapa daerah menggeliat ingin melepaskan diri dari Jakarta, nasionalisme (dan keutuhan NKRI) lantas menjadi diskursus yang (sangat) penting untuk dibicarakan. Lantas, gerakan-gerakan yang dianggap mengancam keutuhan NKRI menjadi penting juga untuk diperangi (dan dilabeli teroris!). Munir, dalam Indonesia, violence and the integration problem memberi sebuah pertanyaan penting berkaitan dengan persoalan ini: “can national integration and human rights go together in Indonesia?” Menurutnya, pertanyaan ini penting sebab konflik sosial-politik di beberapa daerah semakin memanas and menimbulkan ketakutan akan retaknya keutuhan NKRI. Namun, reaksi negara dalam rangka menjaga keutuhan NKRI telah menyebabkan meningkatnya kekerasan (di Aceh, Timor Timur, dan tentu Papua). Lebih lanjut, Munir mengatakan soal politik Orde Baru yang menciptakan manipulasi akan pentingnya integrasi nasional. Menyingkirkan lawan politiknya dan mengontrol partisipasi politik masyarakat serta mengeksploitasi sumber daya alam tanpa adanya perlawanan yang signifikan (lagi-lagi orba!). Memang hantu ini tidak pernah mati, hingga kini, integrasi nasional (NKRI harga mati!) masih saja menjadi dalih untuk terus melakukan opresi dan kekerasan (di Papua).

Terakhir, Munir mengatakan soal konsep yang sudah usang mengenai persatuan dan kesatuan sebagai simbol keutuhan negara pada dasarnya datang dari rezim integralistik, yang melihat persatuan dan kesatuan dalam arti tunduk pada kehendak negara (atau penguasa?). Konsep usang ini tampaknya problematis, sebab negara justru hadir untuk membuat rakyatnya tunduk, konsep yang kedengarannya Machiavellis sekali. Penundukkan ini, jelas berlawanan dengan kredo kerakyatan, bukankah ide persatuan adalah sesuatu yang perlu datang dari rakyat? Munir kemudian mengatakan bahwa tumbuhnya rasa persatuan dalam masyarakat yang begitu beragam tidak akan terpenuhi tanpa adanya penghormatan terhadap hak asasi manusia. Dalam rangka mendirikan pondasi yang kuat untuk demokrasi, kebebasan berpendapat, kebebasan media, kemerdekaan berkumpul dan berserikat, dan tidak adanya diskriminasi politik, hak asasi manusia perlu dijunjung tinggi. Adanya rasa kemerdekaan akan membentuk integrasi sosial yang kuat dalam masyarakat, hal inilah yang dipercaya untuk menjadi pondasi bagi persatuan dan kesatuan (keutuhan NKRI).

Hantu dari masa lalu, seharusnya tidak menakut-nakuti, ia justru hadir sebagai pengingat, bahwa masa lalu yang bersimbah darah tidak perlu diulangi. Penetapan label teroris terhadap TPNPB-OPM adalah hal yang tidak diperlukan. Oh, satu lagi hal yang tak kalah penting adalah soal akses jurnalis (nasional dan internasional) yang seharusnya dipermudah. Pada pembunuhan massal 65–66, akses jurnalis dibatasi dengan sangat ketat, hal ini juga terjadi ketika invasi Indonesia ke Timor Timur. Kini, ia terjadi di Papua. Sekali lagi, saya ingin mengutip Ben Anderson, “Mereka yang tak mau tahu masa lalu dihukum untuk mengulanginya. Mengerikan, bukan?”

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

Michael Pandu Patria
Michael Pandu Patria

Written by Michael Pandu Patria

Bagi saya menulis sama dengan mengelola sampah, karena menulis adalah salah satu cara mengelola pikiran, dan pikiran saya isinya sampah.

No responses yet

Write a response