Cerita Hidup Rosidi, Tentang Sejarah yang Tak Melulu Hitam Putih

Michael Pandu Patria
4 min readApr 9, 2021

--

Rosidi, penyintas tragedi 65 (source: google)

Dua hari yang lalu, saya mendapat kiriman paket dari Yayasan Pantau, sebuah lembaga yang bergerak di bidang jurnalistik. Paket itu berisi sembilan buku, dari kesembilan buku tersebut, ada satu buku yang langsung menarik minat saya untuk membacanya. Buku itu berjudul Cerita Hidup Rosidi, karya Tosca Santoso, seorang jurnalis yang juga mendirikan KBR (Kantor Berita Radio), suatu jaringan radio yang terbesar di Indonesia. Buku itu menarik bagi saya, pertama-tama adalah karena saat ini saya sedang mengerjakan skripsi yang berkaitan dengan tragedi 65.

Hari itu juga, buku setebal 260 halaman tersebut mulai saya baca. Cerita itu dimulai dengan kisah Rosidi yang ditangkap oleh tentara pada 10 Oktober 1965. Rosidi menjadi seorang tahanan politik menggantikan pamannya, ia ditangkap karena sebuah kartu, kartu keanggotaan Sarbupri (Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia) yang ia dapatkan ketika menjadi buruh di sebuah perkebunan teh di Jawa Barat. Kartu itu biasa ia gunakan untuk mengambil jatah bantuan kebutuhan pangan, namun naas, pada hari itu kartu Sarbupri yang memiliki fungsi untuk membantunya mencukupi kebutuhan pangan justru mengubah hidupnya, selamanya. Rosidi ditahan selama 13 tahun, menjalani kehidupan yang keras, diperbudak dan harus menanggung stigma sosial bahkan setelah ia dibebaskan.

Meski menjalani kehidupan yang begitu keras, namun kisah hidup Rosidi tak melulu soal penderitaan. Bahkan cover buku ini menunjukkan foto Rosidi di masa tuanya, sedang tertawa. Tosca Santoso menarasikan kisah Rosidi dengan segala suka duka yang ia alami. Kehidupan menjadi seorang tahanan politik memang penuh dengan nestapa, namun Rosidi tetap berusaha menjalani kehidupannya sebaik mungkin. Kehadiran Oneh, istri yang selalu setia mendampingi Rosidi hingga akhir hayat, menumbuhkan bunga harapan bagi Rosidi untuk terus hidup dengan penuh semangat. Ketika berada dalam masa tahanan, Oneh serta anak-anak mereka menjadi motivasi bagi Rosidi untuk bekerja keras di luar kerja-kerja perbudakan yang diterapkan sebagai kebijakan dari penguasa kamp. Rosidi memang dididik dalam keluarganya untuk terus bekerja keras, namun kondisinya sebagai tahanan politik memaksa Rosidi untuk bekerja lebih keras lagi demi sekedar mencukupi kebutuhan makan untuk keluarga kecilnya.

Setelah dibebaskan dari tahanan, Rosidi dan keluarganya kemudian ditempatkan di sebuah desa di kaki Gede. Desa itu bernama Sarongge. Selain keluarga Rosidi, beberapa tahanan politik juga ditempatkan di desa itu. Mereka membuka lembar baru, bukan lagi sebagai tahanan politik, namun juga bukan sebagai manusia merdeka. Setelah bebas dari tahanan, penguasa melabeli mereka sebagai ‘eks tapol’. Setidaknya hingga sebelum runtuhnya Orde Baru, masih terkungkung dalam stigma yang begitu kuat berkaitan dengan citra negatif soal PKI. Dalam kisah Rosidi, ia menuturkan bahwa kehidupan yang ia rasakan sedikit membaik pasca runtuhnya Orde Baru, meski stigma terhadap eks tapol masih terasa. Pada tahun 2013, pada suatu kunjungan yang dilakukan oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke kaki gunung gedhe, Rosidi menyaksikan kunjungan tersebut dengan pengawasan ketat dari seorang personel tentara. Dikatakan bahwa “menjaga Rosidi adalah prosedur standar”. Hantu komunisme tampaknya dijaga untuk tetap hidup, bahkan hingga hari ini.

Sejarah, hampir selalu digambarkan dengan hitam putih. Pertempuran kebaikan melawan kejahatan. Colonizer and the colonized. Pengkhianat dan yang terkhianati. Persis seperti itulah sejarah G30S yang diperlihatkan oleh penguasa. Kelompok PKI selalu digambarkan sebagai pihak yang begitu jahat, penyiksa para jenderal, pengkhianat bangsa. Namun yang tidak diceritakan oleh penguasa adalah pembantaian massal pasca G30S, yang kemudian menimbulkan kontestasi wacana dan sebuah permintaan soal ‘pelurusan sejarah’. Saya sendiri tidak begitu paham apa yang dimaksud dengan pelurusan sejarah itu, namun bagi saya itu terdengar sama seperti narasi Orba yang melihat sejarah dalam perspektif hitam dan putih. Bagi saya, buku Cerita Hidup Rosidi memberikan sebuah gambaran bahwa sejarah tidak hanya soal hitam putih, kisah-kisah masa lalu selalu mengandung berbagai warna. Tosca Santoso menggambarkan kehidupan Rosidi yang penuh nestapa, juga dipenuhi bunga-bunga harapan. Dalam menceritakan kisah Rosidi, Santoso juga menggambarkan konteks politik yang mempengaruhi kehidupan Rosidi.

Pada bagian akhir buku tersebut, diceritakan bahwa Rosidi sempat mengunjungi Dadang Mulyadi, seorang komandan kamp tempat dulu Rosidi ditahan, yang sedang terbaring sakit. Pada kunjungan tersebut, sang komandan meminta maaf kepada Rosidi. “Mang Idi, jangan dendam sama saya,” begitu ujarnya. “Ah, tidak. Bapak kan hanya jalankan tugas,” jawab Rosidi. “Saya minta dimaafkan.” “Sudah Pak.” Sampai di titik ini, saya mengingat sebuah pernyataan apologis dari seorang perwira tinggi Nazi yang mengatakan bahwa ia hanya menjalankan tugas. Namun, nampaknya pernyataan maaf antara Dadang dan Rosidi datang dari hati yang tulus, bukan hanya sekedar pernyataan apologis belaka.

Rekonsiliasi di tingkat akar rumput sudah banyak terjadi, namun entah mengapa elit-elit penguasa belum dapat sekedar melakukan pengakuan terhadap terjadinya tragedi 65. Tribunal Rakyat 65 yang digelar di Den Haag telah menyatakan bahwa negara bersalah dan bertanggung jawab atas suatu kejahatan terhadap kemanusiaan yang telah terjadi di masa lalu, namun elit penguasa terus saja melakukan penyangkalan. Lantas apa yang bisa diperbuat?

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

--

--

Michael Pandu Patria
Michael Pandu Patria

Written by Michael Pandu Patria

Bagi saya menulis sama dengan mengelola sampah, karena menulis adalah salah satu cara mengelola pikiran, dan pikiran saya isinya sampah.

No responses yet

Write a response